Tuesday, December 18, 2007

SEGALA SESUATU ADA WAKTUNYA


Andai kehidupan itu poros, kita adalah additional stuff yang turut berputar di dalamnya. Seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Di sanalah peran ditetapkan. Kita tidak diberi hak untuk menentukan posisi, namun bukan suatu alasan juga untuk menyerah pada keadaan. “Kalau memang jatahnya miskin, ya miskin.” Hanya orang bebal yang berkata demikian.
Masalah sesungguhnya bukan di mana kita ditempatkan, melainkan apa yang harus kita perbuat ketika berada pada tempat yang tidak kita inginkan.
Menyerah?
Berlari?
Meratab?
atau Bersukacita?
Segala Sesuatu itu Ada Waktunya.
Ada waktu untuk menabur, ada waktu untuk menuai.
Ada waktu untuk berperang, ada waktu untuk berdamai.
Ada waktu untuk diam, ada waktu untuk berbicara.
Ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun.
Ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri.
Ada waktu untuk menggenggam, ada waktu untuk melepaskan.
Ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci.
Ada waktu untuk lara, ada waktu untuk sukacita.
Bukan suatu hal mudah melakoni peran kehidupan yang bisa berganti dalam hitungan milidetik. Kita dituntut untuk bisa menjadi malaikat sekaligus iblis. Pencipta sekaligus Penghancur. Ia tidak menyediakan take ulang layaknya sinetron. Tidak juga meditasi sebelum pentas layaknya teater.
Terkadang kita lelah terus berlari dalam labirin yang sama. Hafal setiap liku permasalahan, namun tak juga menemukan pintu kebebasan. Rasa lelah yang mengakar itu membuat kita lupa, bahwa Segala Sesuatu Ada Waktunya. Teruslah berlari hingga lelah mengalah. Kaupun akan menemukannya. Pintu Kebebasan.
Begitulah Dia bekerja. Tuhan membuat segala sesuatu itu indah pada waktunya. Dan aku bersyukur untuk rasa sepi yang kini aku rasakan.

Monday, December 17, 2007
Terinspirasi dari Pengkhotbah 3

TAHUKAH KAMU ?

Aku menjauh.
Bukan karna sebuah pilihan.
Melainkan keharusan.
Tahukah kamu?

Aku diam.
Bukan karna bisu.
Melainkan kehilangan kata.
Tahukah kamu?

Aku tertawa.
Bukan karna ingin tertawa.
Melainkan ingin menangis.
Tahukah kamu?

Aku tersenyum.
Bukan karna bahagia.
Melainkan tak tahu apa arti bahagia.
Tahukah kamu?

Aku merenung.
Bukan karna banyak masalah.
Melainkan satu masalah.
Tahukah kamu?

Aku pergi.
Bukan karna tak bisa menerima.
Melainkan takut tersakiti lagi.
Tahukah kamu?

Aku menjauh
Aku diam
Aku tertawa
Aku tersenyum
Aku merenung
Aku pergi
Karna kamu…
Tahukah kamu?

12.11.2007

AKU = KAMU

Beberapa hari lalu ada seorang kakak bertanya seperti ini, “Dek, kalau disuruh milih, kamu lebih milih mana? Persegi, Segitiga, Lingkaran, atau segi tak beraturan?”

Siang itu kami bertiga sedang duduk di sebuah gazebo. Mendung. Tetes pertamapun jatuh, membuatku bisa mencium bau tanah. Aku suka hujan. Namun bukan untuk saat ini.

Topik yang ia angkat memang berat untuk dibicarakan. Meski beberapa orang menyebutnya tak lebih dari picisan. Tapi toh hujan berdiri di sebelahku. Masalah cinta yang biasa menjadi konsumsi publik dalam novel maupun sinetron tidaklah seringan kelihatannya. Hujan turun semakin deras. Sungguh sebuah semiotik yang indah.

“Lingkaran,” jawabku saat itu.
“Wah kalau gitu kamu nggak cocok donk sama Prisma. Habisnya kalian sama-sama milih lingkaran.”
Akupun tergelak. Merasa ditempatkan pada situasi yang hampir sama. Dengan objek yang berbeda tentunya.
“Emang, kalau lingkaran itu artinya apa, mbak?”
“Artinya kalian itu orang yang haus akan kasih sayang. Sama-sama suka diperhatikan. Fleksibel. Tapi karena kalian berdua orang yang suka diperhatikan, kalian nggak mungkin bisa jadian. Kalau sifatnya mirip juga susah. Haha…”
“Haha… jadi dari tadi mau nyomblangin kita toh, mbak?” aku tertawa. Tapi hatiku menjerit. Memohon dengan amat agar Mbak Zabeth berhenti bicara saat itu juga.
Huff… Andai ada sinkronisasi antara hati dan tawaku…


Dia adalah penyambung lidahku. Menyelesaikan setiap kata dalam kalimat yang aku ucapkan. Kami mempunyai banyak kesamaan. Tapi ternyata itu bukanlah sebuah jaminan kalau kami satu. Pada awalnya aku merasa mengenal dia melebihi siapapun. Namun semakin aku kenal, aku justru makin tak mengerti siapa dia sebenarnya. Apa maunya. Apa yang ada dibenaknya. Apa yang dipikirkannya tentangku.

Dinding pemisah itupun muncul secara perlahan. Menempatkan kami pada kedua sisi yang bersebrangan. Aku mencoba menutup mata. Namun gagal. Karena aku terlanjur mengerti, bahwa segala sesuatu yang serupa itu tidak ditakdirkan untuk bersama. Bukannya tidak mungkin, namun sangat jarang terjadi. Semesta menciptakan kita untuk saling melengkapi. Dan bagaimana kami bisa melengkapi kalau apa yang ada padaku, ada pula padanya? Sedangkan apa yang kami butuhkan tidak ada dalam diri masing-masing?

AKU = KAMU
AKU + KAMU = 1 ?


Sunday, December 16, 2007