Sunday, March 23, 2008

YESUS DISALIB, LAGI

(Secuil perenungan PASKAH)


Dulu Dia disalib dengan 30 keping perak

Sekarang Dia disalib dengan ribuan eksemplar kamuflase baru

Salah Yudas Iskariot?

Salah penulis-penulis itu?


"Yesus, lelahkah Engkau?"

kita bertanya, tanpa pernah sadar akan satu hal,

bahwa kita telah menjadi Yudas-Yudas baru

yang menyalibkan-Nya dengan rokok

yang menyalibkan-Nya dengan kebohongan

yang menyalibkan-Nya dengan penghujatan

yang menyalibkan-Nya dengan ketiadaan kasih

yang menyalibkan-Nya dengan kemunafikan

yang menyalibkan-Nya dengan pisuhan


"Yesus, lelahkah Engkau?"

dan kita terus bertanya...


Sunday, March 9, 2008

NEVER WALK ALONE


Daftar kegiatan beruntun memenuhi kalenderku beberapa waktu lalu. Segalanya terasa saling berjejalan dalam satu lemari kecil untuk memaksa masuk dan diprioritaskan. Tidak tertata. Pada tanggal yang sama, 23 Februari 2008, ada dua kegiatan besar yang harus kuhadiri. Dan lucunya keduanya bergerak di dunia dan komunitas yang sangat bertolak belakang.


Kegiatan bertajuk *Secangkir Puisi Sebait Kopi, menempatkan aku sebagai salah satu pemain utama di sana. Aku bermain di komunitas teater kampus. Teater SOPO, tempat bermain tapi bukan untuk dipermainkan, ketika ada yang menyeletuk seperti itu, aku hanya tertawa. Namun terkadang hal ini benar adanya. Karena aku merasa menemukan sebuah keluarga baru. Tempat dimana aku bisa menjadi diri sendiri. Berada di dunia akting tanpa perlu berakting, meninggalkan big bag, cardigan dan celana pensil. Rasanya menyenangkan ketika bisa mengenakan kaos gombrong dan celana pendek seadanya, tanpa disertai tatapan memohon khas para fashionista di fakultasku.


Sabtu itu aku melakoni peran sebagai dede kecil yang hidup dalam imajinasinya. Tema SPSK memang dunia fantasi, sempat terlintas di benak liarku, alangkah menyenangkan jika bisa kubawa lakonku ke dunia nyata. Hidup di dunia dimana mimpi bukan sekedar mimpi, lepas dari segala rutinitas, lepas dari segala batas. Tapi tentu saja hal itu tak ubahnya angan tolol :]


Tahap prapentas sangat menyita tenaga dan waktu. Bagaimana tidak, kalau aku harus pulang Pk 24.00 di setiap malamnya. Dengan sungkan mengetuk pintu budhe kos agar bisa masuk ke dalam. Belum lagi mengurus masalah perijinan ke Pembantu Dekan yang dengan tetek bengeknya memintaku untuk ganti proposal. Haha… Thank God!


Pada sisi yang berbeda aku dituntut untuk eksis jika ingin dikenal, jika ingin digunakan lebih tepatnya. Ada sebuah UKM (Unit Kegiatan Mahasiwa) bernama Kine Klub yang aku ikuti. UKM tersebut bergerak di dunia perfilman. Mengapresiasi, berdiskusi, dan kadang mencipta sebuah film. Aku jadi mengerti hal-hal kecil dan nilai baru dalam dunia film yang selama ini kerap luput dari mata telanjangku.


Banyak hal yang kupelajari dalam Latsar (latihan dasar) beberapa waktu lalu. Saat dimana aku bisa merasakan susahnya menjadi PD (Program Director), FD (Floor Director), Camera person, Switcher, dan talent dalam satu waktu yang nyaris bersamaan. Ternyata mencipta sebuah karya itu tak mudah.


Februari lalu Kine Klub menyelenggarakan pemutaran film kecil bertema “Gambar Idoep Tempoe Doeloe”. Cukup membuatku pusing juga ketika harus dikejar date line proposal sponsorship, surat perijinan ini, undangan itu…


Kami memutar dua film, Nagabonar dan Pagar Kawat berduri, dimana salah satu dari film tersebut terselenggara bertepatan dengan hari pementasanku. Sebagai panitia, tidak mungkin juga kalau aku tidak datang. Hey, bukankan aku perlu eksis?


Tapi terkadang harus ada yang dikorbankan. Orang bijak bilang, menentukan skala prioritas. Haha.. andai saja ada alat Doraemon yang bisa membagi tubuhku menjadi dua, pasti tak akan sesulit ini. Lagi-lagi imaji liarku muncul.


Dan sampailah aku di sana. Tempat dimana aku lebih dibutuhkan. Aku hanya ingin berlaku adil untuk keduanya. Itu saja. Sangat sulitkah untuk dimengerti?


Setelah semuanya usai, kelegaan yang kunantikan tak kunjung datang. Ada sesuatu yang mengganjal. Seperti kehilangan banyak waktu untuk diri sendiri, dan untuk Nya...


Senin lalu (3/3) aku datang ke sebuah persukutuan rohani di kampus. Renungan dari Bu Efri saat itu telak-telak menohokku, “Mungkin sekarang kita telah memasuki kehidupan kampus yang sebenarnya. Sudah sibuk dengan rutinitas dan kegiatan ini-itu, hingga secara tidak sadar waktu yang dulu kita khususkan buat Tuhan menjadi berkurang. Kita merasa segala sesuatu berjalan tidak sesuai rencana. Merasa sendiri. Padahal Tuhan tidak pernah meninggalkan kita, kita yang meninggalkan-Nya. Bapa kita di dunia saja selalu menopang disaat kita berteriak minta tolong, terlebih Bapa kita di surga. Dia menyertai kita bukan cuma kemarin, hari ini, lusa, setahun, atau sepuluh tahun mendatang, melainkan sampai akhir zaman…


Never Walk Alone. Sounds familiar? Or commercial? Jika menilik dari sudut pandang para soccer freak, kalimat tersebut pastilah terdengar komersil. Penggila bola mana yang tidak tahu semboyan terkenal Liverpool itu? Beda halnya jika kalimat itu diucapkan oleh orang-orang yang tengah mengalami kesesakan batin. Akan menjadi kalimat yang menguatkan, bukan lagi sekedar semboyan atau bentukan kata.


Saat angin sakal datang di hidup kita dan mengombang-ambingkan perahu yang kita naiki, terkadang kita hanya mampu berkata, “Tuhan, aku mendayung begitu payah.” Sama halnya dengan aku beberapa waktu lalu. Tapi kini aku bersyukur telah mengetahui satu hal, bahwa aku tidak akan pernah berjalan sendiri. Ada Dia yang menuntunku. Disaat perahuku goyang, Ia akan berjalan menghampiriku dan meredakan angin sakal itu.


Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (matius 28:20)



* Secangkir Puisi Sebait Kopi (SPSK) = kegiatan tahunan Teater SOPO berupa pentas perdana yang diselenggarakan oleh anggota baru. Sekaligus sebagai ajang baca puisi bagi semua tamu dan peserta yang hadir dalam acara tersebut. Tentu saja ditemani oleh secangkir kopi…


Sunday, March 09, 2008

AKU, KAMU & MU

Kamu pernah menulis,
"Cinta kita ada dua
Milikku
Milikmu
Saling beradu…"

Tapi versiku,
"Cinta kita ada dua
Milikku
Milikmu
Khayalku bersatu"
Dimana aku adalah aku. Dan kamu tetaplah kamu.
Beda dengan ‘mu’ mu yang bukan aku.

Monday, March 3, 2008

KETIKA

Ketika sepi, aku bertanya pada langit,
“mengapa bintang berkelit?”
Ketika bahagia aku bertanya pada warna,
“mengapa angkasa merona?”
Ketika sedih aku bertanya pada laut,
“mengapa ombak bergelut?”
Ketika bersyukur aku bertanya pada kidung,
“mengapa Dia begitu agung?”
Ketika rindu aku bertanya pada angin,
“mengapa tercipta dingin?”
Ketika jatuh aku bertanya pada bumi,
“mengapa ada gravitasi?”
Ketika cinta aku bertanya pada semesta,
“mengapa rasa itu nyata?”
Ketika luka aku bertanya pada hujan,
“mengapa muncul tetesan?”

Ketika ditinggalkan…
Aku bertanya pada langit,
Langit bilang ini bukan tentang bintang
Aku bertanya pada warna,
Warna bilang ini bukan tentang rona
Aku bertanya pada laut,
Laut bilang ini bukan tentang ombak
Aku bertanya pada kidung,
Kidung bilang ini bukan tentang Alfa dan Omega
Aku bertanya pada angin,
Angin bilang ini bukan tentang dingin
Aku bertanya pada bumi,
Bumi bilang ini bukan tentang gravitasi
Aku bertanya pada semesta,
Semesta bilang ini bukan tentang rasa
Aku bertanya pada hujan,
Hujan bilang ini bukan tentang tetesan
Aku bertanya pada hati,
Hati bilang ia tak mengerti…




-kala sendiri menggerogoti-

Sunday, March 2, 2008

KOPI




“Kau begitu mencintainya…” kata dia yang kini terduduk di sebelah si cempluk berkulit coklat. Bukan sebuah pertanyaan. Melainkan pernyataan.

Hhh… Keduanya mendesah. Dalam sepersekian detik yang sama. Untuk alasan yang hampir sama pula.

Mereka diam. Sibuk membenahi perasaan masing-masing, di mana yang satu merasa dirinya paling merana dari antara yang lain.

“Si hitam itu akan membuatmu retak,” kata dia lagi, kali ini dengan nada satu oktaf lebih tinggi. Cempluk tetap bungkam. Rasio membenarkan apa yang dia katakan. Cempluk tahu melebihi siapapun, kalau ia tetap bertahan bukan hanya retak, tetapi pecah. Dan apalah esensi sebuah pecahan kalau tidak teronggok bersama sampah?

Namun bukankah antara cinta dan rasio berdiri sebuah dinding pemisah? Suara lain muncul membenarkan perasaan yang kian bergejolak.

Dia kembali berpaling pada si cempluk. Memberikan sebuah tatapan yang berbeda. Dia memohon.

“Kepinganku kelak akan tetap mencintainya.” Untuk kali pertama cempluk angkat suara. Menyatakan kalau ia siap hancur untuk yang tercinta. “Gesturnya memang panas membakar kulitku. Namun ada kelembutan dan keharuman di sana.” Pikirannya mengawang. Kedua ujung bibirnya membentuk sebuah garis lengkung. “Ia selalu meninggalkan bekas untukku. Meski untuk mendapatkannya aku harus selalu merasakan sakit yang sama, aku rela.”

Dia menghela nafas. Entah untuk yang keberapa kalinya. Seluruh tubuh dia mulai bergetar, membuat meja dari mahoni tua itu turut berderak ke kanan dan ke kiri. Semenjak menjadi penghuni tetap coffee shop berkonsep minimalis itu, dia telah menautkan hatinya pada Cempluk. Menghabiskan harinya bersama Cempluk, tertawa, menangis, berkelakar bersama Cempluk. Bagaikan bertemu belahan jiwa. Dia bisa merasakan cinta, begitu juga halnya Cempluk, terlepas dari mereka yang hanya sepasang cangkir kopi.

Tapi satu yang dia tak mengerti, mengapa Cempluk tak bisa mencintainya. Padahal mereka sama. Sepasang cangkir kopi. Yang tiap hari harus merasakan panasnya cairan kental nan pekat itu, serta beristirahat dalam sebuah rak kayu yang sama ketika kedai telah tutup.

Mereka sama.



Kata ‘sepasang’ itu sudah lebih dari bukti, bahwa mereka memang ditakdirkan untuk bersama.
Sayang, Cempluk melihat dari sudut pandang yang berbeda. Cempluk merasa dirinya tak sempurna tanpa cairan yang orang sebut dengan ‘kopi’. Ia bukanlah cangkir kopi tanpa kopi di dalamnya. Ini yang tak pernah dimengerti oleh dia. Bahwa segala sesuatu yang sama bukan tercipta untuk saling melengkapi. Ia hanya butuh kopi.

-Untuk si pecinta Kopi-

JANGAN SALAHKAN MEDAN

Desember lalu beberapa teman mengajakku pergi ke Pantai Maron. Lima belas tahun tinggal di Semarang, mendengar nama pantai inipun baru kemarin sore. Ironisnya, bukan hanya aku yang merasa asing ketika Mba Ruth (Ketua KOREM kami) menyebut Pantai Maron sebagai objek tujuan. Hal ini membuatku berpikir, lantas siapa yang patut dipersalahkan? Kami yang ngaku anak Semarang asli tapi nol besar akan potensi alam setempat? Pemda Semarang yang kurang promosi dan begitu saja mengabaikan profit yang mungkin dihasilkan? Lokasinya yang terpencil?

Bukan suatu yang hiperbol bila letak Pantai Maron dibilang jauh dari peradaban. Untuk seember kecil air bersih kami harus membayar seharga 1 liter air mineral! Bayangkan saja. Sangat kontras dengan Pantai Marina yang kaya akan pengunjung (tapi mulai berkurang akibat minimnya perawatan) karena letaknya yang berada di kawasan real estate. Dari bandara Achmad Yani—ujung dari ujungnya Semarang—kami masih harus menempuh sebuah perjalanan panjang.

Kalau dihitung secara matematis seharusnya sampai dalam waktu 45 menit. Sayang terkadang hukum matematik tidak berlaku. Butuh lebih dari 1 jam untuk mencapainya. Integritas ruang dan waktu yang tak kooperatif memang.

Kami harus melewati lautan lumpur, medan terbesar dalam perjalanan. Jangankan motor, kakiku saja sangat berat untuk dilangkahkan. For your info, aku terpaksa berjalan kaki, karena keukeuh nangkring di atas motor merupakan tindakan yang sangat egois (-.-“)

Satu persatu dari kami berjatuhan. Diawali oleh Ayu, Ester, lalu Aryo (haha.. bahkan seorang Aryo Nyamuk pun dapat jatuh!)

Adegan ini membuatku mencelos. Mungkin beginilah dinamika kehidupan. Kita tak pernah tahu bagaimana perjalanan kita ke depan. Berapa banyak yang datang, berapa banyak yang pergi, berapa banyak yang tinggal. Dan yang tak kalah penting, seberapa berat medan yang kita tempuh, yang membuat perjalanan hidup menjadi lebih panjang.

Aku sempat bilang, lebih baik cowok yang di depan—just in case saja. Sayang nasehat kecil ini hanya dianggap angin lalu. Baru ketika jatuh, mereka mengerti, kalau mereka tidak selamanya bisa bertahan seorang diri.

Kadang kita menghindari sebuah perjalanan karena medannya. Itu sebabnya kita tak pernah tahu apa yang ada di depan sana. Padahal medan lah yang membuat kita belajar banyak hal. Siapapun, tanpa terkecuali, dapat jatuh ketika menempuh sebuah medan kehidupan. Tinggal bagaimana kita bertahan. Akankah kita mengulurkan dan menerima uluran tangan dari orang lain disaat kita merasa benar-benar tak mampu?

Ada seorang pasangan yang berangkat beriringan dengan kami. Ternyata mereka juga ikut terjatuh. Kami menolong, mereka bangun, mengucapkan terimakasih, dan pergi. Kembali mencari jalan yang dirasanya paling baik.

Medan berlumpur itu membuat beberapa orang baru datang ke hidup kita. Namun mereka tidak selamanya tinggal, sekalipun kita menginginkan mereka untuk tinggal.

Hidup ini pendek—orang Jawa bilang mampir ngombe (numpang minum). Menjadi panjang ketika kita harus melewati berbagai rintangan yang ada. Bukan hanya lempeng, tapi juga berliku, berbatu, bahkan berlumpur.

Ada kepuasan tersendiri saat akhirnya sampai ke Pantai Maron. Rasanya seperti menemukan sisi lain kehidupan yang selama ini ada, namun tertutup oleh medan yang tak pernah dilalui, atau barangkali yang tak ingin dilalui karena kita lebih memilih berputar untuk menghindar? Bukan karena medan. Tapi tentang medan.


Tuesday, January 8, 2008

*Special thx buat Kebo (Ricky. Hehee… Ampun, Ky!) untuk tebengan yang telah diberikan pada cewek manis ini =p