Tuesday, November 23, 2010

Diam

Aku iri pada gulingmu. Dengan serakah ia memonopoli hangat tubuhmu di setiap malam. Kamu selalu dan selalu mendekapnya, erat, intens. Meniadakan jarak dalam sebuah pelukan diam.

Aku iri pada bed cover usang di atas kasurmu. Ia meng-cover kamu dengan sempurna. Dingin tak mampu menyakiti kamu karena ia ada untuk menggantikan rasa sakit itu. Setidaknya kamu mengijinkannya.

Aku iri pada coffee mix dingin yang kamu sapa sehari lima kali. Yang tanpanya kamu merasakan harimu tak lengkap. Kamu candu akan itu. Namun kamu tak candu akan aku.

Aku iri pada mobil BMW tahun 90-an yang kamu panggil "Mas Boy". Setiap kamu pergi dengan Mas Boy, ada setitik kebanggaan di sana. Semua orang melihat itu, bahwa kamu bersyukur mendapatkan Mas Boy. Kamu memujanya. Mas Boy.

Aku iri pada jam tangan Esprit mu yang konon harganya selangit. Keberadaan kalian satu. Kamu menjaganya seperti menjaga nyawamu saja. Tidak kamu biarkan ia tergores dan tersakiti meski hanya seinci. Lain dengan aku.

Aku iri pada parfum Benetton Sport yang menciptakan sensasi baru dalam harum tubuhmu. Kehadiranmu terepresentasi melalui peluh-peluh itu.

Aku iri pada komputermu. Bermodalkan resolusi tinggi dan speed maksimal, ia berhasil mencuri harimu. Mencuri waktumu. Mencuri perhatianmu. Mencuri kamu.

Aku iri pada koleksi jaket mu. Kamu memastikan mereka akan selalu ada di sana. Dalam lemari acak adul itu. Tidak sekali-kali kamu membiarkan mereka berpindah tangan.


Dari dua tahun lalu aku hanya diam. Mengamati dalam iri yang semakin menjadi. Pada mereka. Benda-benda mati itu!



Solo, November 23th