Sunday, July 24, 2011

Rainbow


"If the rain symbolizes sadness, then the sun is happiness. And we need both to be able to see the rainbow ..."
Picture: http://www.flickr.com/photos/saxonymarie/5874009136/lightbox/

10 Reasons Why I Love Coffee



  1. I got my precious moments with coffee
  2. A cup of coffee is very helpful pouring my private restlessness into word
  3. Kopi merupakan katalisator saya untuk bisa pupee :p
  4. Dari kopi turun ke hati. Sounds ridiculous, eh?
  5. Their tastes give me a little musings about love, friendship, life, family, God
  6. I capture many things―people, moments, feelings―on every coffee that I drink
  7. Seorang teman pernah berkata pada saya, "Kalau kisah cintamu dibikin versi layar lebar mungkin judulnya: Lighter I'm in Love"
  8. It smells heavenly!
  9. I felt unexpected when I drink it. That was one-of-a-kind my guilty pleasure: coffee's moment!
  10. He does :)

Friday, July 22, 2011

Light Pollution #4

#EMPAT


I try to run from your side, but each place I hide only reminds me of you…

(MYMP - Only Reminds Me of You)

“Aku minggu depan ke Jakarta. Kita ketemuan ya. Kangen udah sebulan nggak ketemu.”

“HAH? SERIUS?!” Tanya saya.  Seperempat sangsi, tiga perempat sisanya berharap kuping lagi nggak eror.

“Seriuslah, Jelek…”
* * *
Saya senang berada di kota biang macet bernama Jakarta. No matter what people say      Kesumpekan ibukota justru membantu saya melepaskan diri dari penatnya Solo. Ah sebuah paradoks yang lucu memang.
      
Saya mencoba bersembunyi. Dari Solo, dari kampus, dari dia.
      
Kesalahan saya cuma satu: Jakarta. Kotanya dia. Tempat dimana dia (dulu) banyak bercerita. Dan tinggal beberapa hari lagi dia akan datang ke tempat persembunyian saya. Permainan petak umpet inipun harus segera diakhiri. Susah payah saya merangkak keluar dari bilik bernama ‘pelarian’.
* * *
“Kita mau ke mana?”
“Lebak Bulus. Aku mau kasih lihat rumahku dulu, juga tempat nongkrongku.”
      
Pada akhirnya sampailah kami di sana, sebuah komplek perumahan PU di daerah Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Di pengkolan itu bercokol pos ronda yang tampak cozy meski hanya terbuat dari bambu, warung kecil dan abang tukang jual ketoprak. Ada banyak lelaki seumurannya yang dia sebut sebagai ‘anak-anak kompleks’, menunggu kami turun dari mobil.
      
Tatapan ‘cieh cieh’ mereka menyambut kami.
      
“Halo… Ninda…” Saya memperkenalkan diri.
     
“Oh jadi ini yang namanya Ninda Ninda itu. Yang ngekos di belakang Ambas kan?” Lelaki yang dipanggil Palak nyamber kayak ember bocor.
     
Eh?
      
Agak keki, saya tersenyum mengiyakan. Padahal dalam hati sudah nari hula-hula persis ABG labil kegeeran.

Akhirnya kami menghabiskan malam bersama anak-anak kompleks dengan bermain futsal. Dia memperkenalkan saya ke semua teman-temannya. Mengijinkan saya memasuki ranah masa lalunya. Seperti membaca sebuah diary terbuka, saya membaca dia.

Jam 2 subuh dia mengantarkan saya pulang. Setelah memarkir mobil, kami berjalan menyusuri gang kecil hingga akhirnya sampailah saya di depan kos.
     
 “Makasih ya, Jeleg buat hari ini,” kata saya
     
Dia mengelus rambut saya yang saat itu terurai dan sedikit lembab karena udara malam. Kemudian bibir kami bertaut lembut, dalam sepersekian detik yang begitu singkat, tanpa tendensi apapun selain “Good night…” ucapan selamat malam.
     
 “Good night…” saya membalas berbisik.
      
Di bawah langit malam yang bias oleh cahaya lampu gedung-gedung pencakar langit…
      
Diselimuti udara yang begitu dingin menyengat kulit…
      
Pada sebuah gang kecil bernama Jl. Pedurenan Masjid…
      
Dalam ambience light polution tersebut saya mengecap manisnya Jakarta.


Empat: Saya menyimpan detail itu dengan nama  “Jakarta road kiss” :)

Sunday, July 17, 2011

Light Pollution #3

#TIGA

      Saya bertemu banyak orang hebat di sini: Mbak Dini (boss saya), Pak Bambang (boss nya boss saya), Mas Husni-Mbak Vivin-Mbak Ika-Mbak Siska (corpcom XL), Mbak Ira (head of corpcom XL), Pak Hasnul (CEO XL) dan masih banyaaaak lagi. Mereka tampak mempesona di mata saya. Bekerja dengan ritme yang “tek tek tek” dan cara mereka berjalan seperti disetel dua kali lebih cepat daripada orang-orang di daerah.
      “Di XL orang-orangnya dituntut kerja cepat dan dinamis, Nin. Jadi jangan kaget ya,” ucap Pak Bambang di Loby Graha XL ketika kami akan berangkat ke Bogor untuk sebuah kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR). Saya angguk-angguk dengan ritme yang tak kalah cepat.
      “Tapi saya suka melihatnya, Pak”
      Pak bambang tersenyum.
* * *
      Dalam sebuah mason gathering di JCC, saya kembali bertemu dengan boss-boss besar dan para socialite yang di jidatnya nempel invisible print berbunyi “time is money”. Mungkin harga barang-barang yang mereka kenakan from top to toe saat itu bisa buat bayar kos saya di Jakarta selama 3 bulan.
       Saya menyimak obrolan mereka, mengamati body language, dan menonton mereka berinteraksi dalam inner circle nya. Nafas saya terengah-engah. Berat. Ternyata seperti ini pola komunikasi socialite di Jakarta. Paling tidak sekarang sudah tahu sedikit, jadi tidak kagok kalau kelak menjadi seperti mereka. Hahaha… (It’s sound from the bottom of my heart)
* * *
      Saat itu 23 Juli 2010. Karena boss saya ada urusan corporate di Kalimantan selama beberapa hari, jadilah saya dihibahkan ke XL Pusat. Ada event CSR tahunan Komputer Untuk Sekolah (KUS) yang harus saya ikuti di The Sultan Hotel. Dari XL Pusat yang berada di Menara Prima, saya diculik berangkat lebih dulu untuk three-in-one melewati Jalan Sudirman oleh Mbak Ika dan Mbak Siska. Kami datang terlalu pagi. Dengan perut kriuk-kriuk akhrinya Mbak Siska memutuskan untuk mencari jajanan hotel. Masuklah kami ke sebuah coffee corner di hotel yang bertuliskan “Executive Clubs Only”. Belum-belum saya pusing membayangkan harganya.
      Mungkin kami memang lagi apes, ternyata makanan di coffee corner tersebut harus pesan di pantry restoran yang terletak di bagian depan hotel yang singkat cerita belum tersedia. Pada akhirnya saya memesan cappuccino latte sambil mringis.
      Di meja sebelah kami duduk kumpulan kakek-kakek yang terlihat sedang asyik berdiskusi dengan secangkir kopi dan cerutu di tangan kanan mereka. Dari penampilannya, mereka terlihat bukan seperti kakek-kakek biasa. Saya terkekeh geli. Obrolan mereka sudah kayak orang mikir negara aja.
      “Sis, itu Pak X bukan sih? Mantan Mentri Ekonomi kan?” Tanya Mbak Ika.
      Mbak Siska manggut-manggut. “Kayaknya iya. Sebelahnya mantan Mentri Luar Negri si Pak Y kan? Terus yang itu Pak Z…”
      Saya bengong. Merutuki guru SD saya atas kebodohan pagi itu. Ya iya lah mereka kayak orang mikir negara! Namanya juga mantan mentri! Ah, dalam imajinasi terliar saya sekalipun tidak pernah membayangkan bisa ngopi pagi hari berdampingan dengan para mentri seperti ini.
      Kegiatan KUS berlangsung hingga Pukul 2 siang. Turut hadir di dalamnya Mentri Pendidikan, Muhammad Nuh, Imam Prasojo, dan Presdir XL Hasnul Suhaimi. Seperti layaknya orang penting, Pak Muhammad Nuh pulang terlebih dahulu dikawal ajudannya yang bejibun. Sedangkan Pak Imam Prasojo bahkan mengikuti sampai berakhirnya acara. Ternyata beliau memang dikenal suka berdiskusi ngalor-ngidul. Alhasil sayapun tertahan tidak bisa pulang duluan. Saya bersama rekan-rekan XL turut menyatu dalam perbincangan Pak Imam dan Pak Hasnul. Lagi-lagi kepala saya jadi pening. Hahaha…
      Akhirnya Pukul 3 sore kami meninggalkan The Sultan Hotel. Saya pulang membawa sebuah goodie bag, foto bersama Srimulat, cerita, dan mimpi baru. Cappuccino latte tadi pagi masih terasa hangat di perut saya.
      Saya ingin suatu saat nanti bisa menjadi “orang”. Seperti mereka. Dan ketika saat itu tiba, saya akan tersenyum manis untuk hari ini sambil mengucap syukur, “Terimakasih Tuhan”.

Tiga: Jangan pernah takut untuk bermimpi! Dan selalu libatkan penyertaan Tuhan dalam setiap mimpi-mimpi Anda.

Light Pollution

#SATU


      Juli 2010. Tepat setahun yang lalu saya berangkat magang ke Jakarta. Seorang diri, bermodal tampang yang dibuat “Gue anak gahol Jakarta loch! Macem-macem gue kepet nih!” Padahal nonsense. Ngeluarin hp di tengah keramaian aja takut-takut.
      Hari pertama, mencari kos. For the God’s sake! Saya merasa harga kosan di daerah Kuningan semuanya sakit jiwa! Rata-rata 1 juta keatas perbulan yang saat itu 3x lipat dari harga kos di Solo. Itu saja untuk level kos abal-abal yang (maaf) bentuknya lebih mirip kandang babi. Buat minum es teh saya harus bayar Rp 3.000. Kalau di warung Bu Cokro (warung dekat kosan saya di Solo) pasti sudah dapat nasi sayur plus tempe.

Satu: Di Jakarta semuanya mahal. Tidak ada yang gratis kecuali teh tawar panas di warung padang.


#DUA


      Dalam bayangan saya, seorang Public Relations pastilah so perlente, yang kalau lagi jalan high heels 12 cm nya menimbulkan sensasi “Teplak teplok teplak teplok”. Cool!
      Berhubung magang di bagian corporate communication XL  Jabodetabek, jadilah saya membranding  penampilan layaknya mbak-mbak PR. Dua puluh menit saya jalan kaki dari kos sampai ke kantor dengan high heels 7 cm. Saya berasa uwow!
      Sampai di kantor saya merasakan sensasi terbakar cenat-cenut di telapak kaki. Ah tampil cantik itu memang butuh proses yang menyakitkan. Hari kedua saya masih memaksakan diri. Hasilnya luar biasa… Kalau ada pepatah surga ada di telapak kaki ibu, saat itu rasanya neraka ada di telapak kaki saya.
      “Mbak, kaki ku lecet semua gara-gara pakai high heels pulang pergi kantor,” keluhku pada si boss.
      “Lho kenapa nggak pakai sandal jepit aja, Nin? Sampai kantor kan bisa ganti.”
      Hari ketiga saya mengikuti saran atasan. Untuk beberapa hari kaki saya terselamatkan karena kerjaan saya bisa stay di dalam kantor. Sayang takdir tidak berpihak pada kaki saya yang sedang dalam masa penyembuhan. Pk 10.00 pagi itu saya harus mengikuti Indonesian Cellular Show (ICS) yang diadakan di Jakarta Convention Center (JCC) dimana XL sendiri mendirikan booth. Setelah itu saya langsung ambil bagian dalam press conference. Jadilah saya berdiri berjam-jam, muter-muter JCC, naik turun tangga dengan high heels 7cm itu. Dan acara tersebut berlangsung selama tiga hari.
      Kaki saya sukses meleleh. Melempuh dan muncul semacam cairan panas di dalamnya.
      “Mbak, kaki ku lecet parah,” aku mengadu untuk yang kedua kali pada si boss.
      “Nggak biasa pakai high heels ya?
      “Iya, nggak biasa pakai high heels buat berdiri dan jalan-jalan kelamaan. Hiks…”
      “Terus kenapa dipaksain?”
      “Kan aku magang di divisi PR, mbak,” jawabku apa adanya.
      “Hahaha… Nin... Nin…” Boss tertawa seolah saya konyol sekali. “Besok pakai flat shoes aja.”
      “Tapi kan kurang gimana gitu mbak. Biasanya PR kan pakainya hak tinggi…” Saya masih berargumen.
      “Ini aja aku pakai flats,” kata boss sambil menunjuk ke arah sepatunya. Aku diam. “Kalau aku memang nggak terlalu suka high heels, Nin. Paling tinggi ya kitten heels yang 2-3 cm gitu. Kalau cantik di luar tapi jalannya mringis-mringis kesakitan kan malah nggak enak dilihat. Hahaha…”

Dua: Penampilan memang penting, tapi membuat nyaman diri sendiri adalah yang utama. Apapun profesi Anda.