Tuesday, July 22, 2014

Friday, August 2, 2013

Good Morning, August!



Coffee is where the story begin. Have you drink one?


Xoxo
Caffeine Kisser



PICTURE: HERE

Wednesday, July 31, 2013

July Photo Diary





1. Being a bridesmaid with BFF ― at The Green Fores Resort, Lembang
2. Bandung little chit-chat ― at Cihampelas Walk, Bandung
3. KOCOK! The Untold Stories of Arisan Ladies and Socialite
4. Can you spot my lucky charm?
5. Playing farm frenzy ― at Cimory The Valley
6. I'm into stripes! ― at Lind's Ice Cream
7. Chicken Parmegiana. Om nom nom! ― at Warung Orange, Solo
8. Accompanied by Hot Caramel Latte ― at Blue Loctus Coffee House, Semarang
9. Farewell. Hiks ― at Kalimilk, Solo



PICTURE: BY AUTHOR

Saturday, July 20, 2013

#JuliNgeblog #Day20: Frappucino Darling



Ini cerita tentang biji kopi dalam secangkir persahabatan
***

You love coffee, don’t you?”

“Hemmm.” Hemmm-nya terdengar in denial. Sama seperti jawaban-jawaban sebelumnya.

Mungkin kali ini dia sudah malas berdiplomatis, atau mungkin dia tidak benar-benar mencintai kopi.
***

Halte busway pada malam Sabtu tak pernah se-crowded ini.  Aku sampai kewalahan untuk mengambil hp di dalam tas yang sedari tadi nyolot minta diangkat.

Adriana Soebagio calling…

“Yes, cyin?” sapaku sambil sedikit ngos-ngosan. Beginilah nasib wanita urban yang harus struggle di atas hak sepatu 7 cm nya.

“Lo dimana, beb? I need your favor.”

“Harmoni. Nunggu busway. Gimana?”

“Ntar gue ke rumah. Temenin gue arisan di Union, okay?”

“Ha? Gue mana cocok masuk inner circle lo itu?! Ajakin si…”

“Lo siap jam 8. Dandan cantik. Muah!”

KLIK. Telepon ditutup.
***

Kadang pusing sendiri melihat polah Adriana. Tiap bulan harus dikejar target ratusan juta rupiah lah, ngemis dari nasabah A sampai nasabah Z, belum lagi arisan dengan socialite ibukota. Tapi aku tahu betul sahabatku. Dibalik Herve Leger itu masih ada Adriana ber-sneakers dan jeans belel yang dulu kukenal.  Hanya saja kini ia sedang menunjukkan sisi yang satunya.

“Aaakkkkk gue butuh kopi!!! Kita ngopi bentar ya, beb?”

Baru mencicipi main course seiprit, Adriana sudah kode ngajakin balik. Jadilah kami pulang dari Union dengan perut keroncongan dan terdampar di salah satu coffee shop di daerah Selatan.

“Gue sebenernya agak nggak nyaman sama geng arisan tadi. Tapi ya gimana lagi, tuntutan profesi,” ucapnya sambil sesekali menyendokkan ice cream dari atas kopi ke dalam mulut. Lumrahnya arisan heboh merupakan a little escape bagi wanita karier super sibuk seperti Adriana. Ini justru sebaliknya. Ia jauh dari sosok the arisan darling.

“Lo nggak pesen makan?” tanyaku dengan mulut penuh.

Nope. Kenyang. Gue cukup kopi aja.” Saat di Union tadi Adriana terlalu sibuk berhaha-hihi sampai makanannya tak tersentuh.  Sekarang pun dia hanya pesan… frappucino? Oh come on, young lady!

"Hhhhhh..." Adrianna menghela nafas. Dramatis. “Gue capek sama kerjaan. Bla bla bla…”

Here we go! Adriana seorang story teller yang handal. Kalau dia sudah curhat perkara kerjaan, yang denger bisa ikutan capek luar dalam.

“Yauda resign. Buat apa kerja tapi nggak happy? Cuma karena prestige? Lo itu lebih cocok jadi copy writer daripada banker. Have a faith on your passion, my dear!”

Ia langsung diam. Sepertinya ucapanku barusan merupakan sebuah tamparan keras. Ah seharusnya sudah kulakukan dari dulu.

“Gue happy kok jadi banker."

"You are pretending to be happy."

"Nggak semua orang bisa masuk treasury, beb. Gue hari ini cuma… ummm… capek aja.”

“Iya nggak semua orang bisa masuk treasury, karena nggak semua orang punya nama belakang Soebagio!”

Tamparan kedua.

Adriana mengaduk-aduk kopi di hadapannya. Kesal. Setelah ice cream di atas kopinya habis, ia meneguk sesekali kemudian menyingkirkannya ke ujung meja.

 “You love coffee, don’t you?”

“Hemmm.” Hemmm-nya terdengar in denial. Sama seperti jawaban-jawaban sebelumnya.

Hahaha You are so frappucino kind of girl, you claim to love coffee, but you don't. You just like an ice cream.”

Tamparan ketiga. Sorot mata itu tampak lelah. Mungkin kali ini ia sudah malas berdiplomatis. Atau mungkin ia memang tidak benar-benar mencintai kopi.




PICTURE: HERE


Wednesday, July 17, 2013

#JuliNgeblog #Day17: Latte


Ini bukan cerita cinta. Ini cerita tentang biji kopi dalam secangkir cinta.
***
Jogja, 2007

Rain Stick? Nama yang cukup hipster-melo-dramatis  untuk sebuah coffee shop. Tidak terlalu besar, namun homey. Letaknya yang bersebelahan dengan kampus ISI membuat pengunjung dapat menikmati live music secara cuma-cuma. Ku Yakin CInta - D’cinnamon dan dentuman jimbe terdengar samar dari seberang sana. Membuatku larut pada sesuatu yang entah apa.

“Cobain punyaku, ndut.” dIa menyodorkan minumannya sementara aku masih terlihat bingung menjelajahi buku menu.

“Ini apa, mas?”

Latte. Feel free to slurp.”

Dan sejak saat itu aku mencintai kopi.
***

People say good coffee is like friendship… rich, warm, and strong. What if ours is not friendship anymore? Is it does matter?
***

Bandung, 2013

Enam tahun berlalu sejak kopi pertamaku. Aku yang waktu itu masih semester satu terlalu lemah melewati cobaan family zone. Dia membuatku jatuh cinta pada kopi atau mungkin sebaliknya. Kami terjebak kakak-adik-isme dalam jangka waktu yang cukup lama. Hingga salah satu diantara kami, aku, mengubah status quo itu menjadi one side love.

Things turned out not like the way I want it would be. Akhirnya kami mempunyai pasangan masing-masing. Perlahan saling melupakan dan mengakhiri hubungan yang bahkan tidak pernah dimulai.

Namun hari ini tampaknya semesta berkonspirasi mengulik kembali unfinished business beberapa tahun lalu. Kami bertemu.  

“Kamu di Bandung nginep dimana, ndut? Nanti malem ngopi, mau? Kujemput.”  “Errrrr berdua aja ya tapi,” tambahnya buru-buru bahkan sebelum aku mengiyakan.
***

“Kamu masih jalan sama yang dulu?” Dia membuka percakapan.

“Enggak, udah lama putus,” jawabku datar.

“Terus sekarang sama siapa?”

“Nggak lagi sama siapa-siapa. Jadi hidden agenda ngajakin aku ngopi cuma buat interogasi perkara love life ku?” Aku manyun. Merasa dikonfrontasi.

“Hahaha… Ambekan…”

Aku masih manyun.

“Kebaca ya? Yes, I’m checking.” Dia tersenyum. Namun tidak ada nada bercanda seperti sebelumnya.

Matik!

Vanilla latte?” Suara si barista memecah kecanggungan diantara kami.

Please.” Setelah meletakkan latte didepannya dan hot Americano untukku, si barista segera berlalu. Meninggalkan kami dalam bisu.

Seolah tau aku merasa tidak nyaman, ia pindah untuk mengambil tempat di sebelahku. Tangannya kemudian menggenggam jari-jariku yang mulai dingin bukan karena udara Bandung. “Dingin?”

Ah retoris. Namun aku hanya mengangguk-angguk tolol.

“Kamu masih suka latte, mas?” Dari sekian banyak tanda tanya, justru pertanyaan inrelevan itu yang keluar.

“Yup!”

Genggamannya semakin erat. Intens. Membuat banyak hal tampak kabur. “You have something in common with your coffee,” aku mulai berkicau.

Am I? HahahaTry me!”

A latte person. You don’t want to take a risk so that you stay on your comfort zone. Sometimes a good thing comes from  unexpectedness, but you are too afraid to confront it.

Setelah itu hening. Kami resmi terjebak nostalgia.




 PICTURE: HERE