Ini bukan cerita cinta. Ini cerita tentang biji
kopi dalam secangkir cinta.
***
Jogja, 2007
Rain Stick? Nama yang cukup
hipster-melo-dramatis untuk sebuah coffee shop. Tidak terlalu besar, namun homey. Letaknya yang bersebelahan dengan
kampus ISI membuat pengunjung dapat menikmati live music secara cuma-cuma. Ku Yakin CInta - D’cinnamon dan
dentuman jimbe terdengar samar dari seberang sana. Membuatku larut pada sesuatu
yang entah apa.
“Cobain punyaku, ndut.” dIa menyodorkan
minumannya sementara aku masih terlihat bingung menjelajahi buku menu.
“Ini apa, mas?”
“Latte.
Feel free to slurp.”
Dan sejak saat itu aku mencintai kopi.
***
People say good coffee
is like friendship… rich, warm, and strong. What if
ours is not friendship anymore? Is it does matter?
***
Bandung, 2013
Enam tahun berlalu sejak kopi pertamaku. Aku
yang waktu itu masih semester satu terlalu lemah melewati cobaan family zone. Dia membuatku jatuh cinta
pada kopi atau mungkin sebaliknya. Kami terjebak kakak-adik-isme dalam jangka
waktu yang cukup lama. Hingga salah satu diantara kami, aku, mengubah status quo
itu menjadi one side love.
Things turned out not
like the way I want it would be. Akhirnya kami mempunyai pasangan masing-masing. Perlahan saling melupakan dan mengakhiri
hubungan yang bahkan tidak pernah dimulai.
Namun hari ini tampaknya semesta berkonspirasi
mengulik kembali unfinished business beberapa
tahun lalu. Kami bertemu.
“Kamu di Bandung nginep dimana, ndut? Nanti
malem ngopi, mau? Kujemput.” “Errrrr
berdua aja ya tapi,” tambahnya buru-buru bahkan sebelum aku mengiyakan.
***
“Kamu masih jalan sama yang dulu?” Dia membuka
percakapan.
“Enggak, udah lama putus,” jawabku datar.
“Terus sekarang sama siapa?”
“Nggak lagi sama siapa-siapa. Jadi hidden agenda ngajakin aku ngopi cuma buat
interogasi perkara love life ku?” Aku
manyun. Merasa dikonfrontasi.
“Hahaha… Ambekan…”
Aku masih manyun.
“Kebaca ya? Yes, I’m checking.” Dia
tersenyum. Namun tidak ada nada bercanda seperti sebelumnya.
Matik!
“Vanilla
latte?” Suara si barista memecah kecanggungan diantara kami.
“Please.”
Setelah meletakkan latte didepannya dan
hot Americano untukku, si barista
segera berlalu. Meninggalkan kami dalam bisu.
Seolah tau aku merasa tidak nyaman, ia pindah
untuk mengambil tempat di sebelahku. Tangannya kemudian menggenggam jari-jariku
yang mulai dingin bukan karena udara Bandung. “Dingin?”
Ah retoris. Namun aku hanya mengangguk-angguk
tolol.
“Kamu masih suka latte, mas?” Dari sekian banyak tanda tanya, justru pertanyaan inrelevan
itu yang keluar.
“Yup!”
Genggamannya semakin erat. Intens. Membuat
banyak hal tampak kabur. “You have
something in common with your coffee,” aku mulai berkicau.
“Am I? Hahaha… Try me!”
“A latte
person. You don’t want to take a risk so that you stay on your comfort zone. Sometimes
a good thing comes from unexpectedness,
but you are too afraid to confront it.”
Setelah itu hening. Kami resmi terjebak
nostalgia.