Hari dan tanggal kelahiran Bambi entah kapan. Namun ia baru bertengger di kamarku sejak dua bulan yang lalu. Ia yang paling gemuk dan subur diantara teman-temannya.
Bambi, horta pertamaku dalam jelmaan babi pink lucu. Butuh kesabaran 1 minggu untuk munculnya rumput hijau lebat di punggung Bambi. Tubuhnya yang coklat muda harus berubah menjadi sedikit lebih tua ketika tetesan air itu meresap—syaratnya bertumbuh. Mungkin bagi kebanyakan orang Bambi tak lebih dari sebuah boneka horta (medium untuk menanam biji rumput dalam bentuk boneka-red). Namun ia sudah seperti teman yang setiap pagi selalu ku siram dan kumandikan sinar matahari. Ia mengisi kekosongan yang kadang tak bisa diisi oleh teman manusiaku. Aku berterimakasih untuk itu.
Hingga tiba waktunya aku harus meninggalkan Bambi seorang diri. Empat hari aku pulang ke Semarang . Bambi kutitipkan pada salah seorang mba kos ku.
“Mba, titip Bambi ya. Jangan lupa disiram tiap pagi terus dikenain matahari ya, mba. Aernya jangan terlalu banyak tapi juga jangan terlalu dikit,” pesanku saat itu.
Tapi entah karena mba kosku tidak memberikan takaran air yang tepat, atau selama empat hari matahari enggan berbagi sinarnya, ataukah takaran kasih sayang yang kami berdua berikan berbeda, Bambi pun layu. Rumput di punggungnya menguning dan terkulai. Satu minggu aku berusaha memperjuangkan Bambi ditengah masa kritisnya. Tapi keadaan yang aku jumpai justru jauh lebih menyedihkan, melihat Bambi pada suatu batas antara hidup dan mati.
Mungkin mba kosku benar, bahwa setiap horta itu memang ada masa hidupnya. Sekitar satu sampai dua bulan, dan setelah itu ia akan mati. Awalnya aku berusaha ingkar akan hal itu, tapi toh kini aku harus belajar menerimanya.
Aku merelakan Bambi.
Kuletakkan Bambi di sudut meja komputerku, tanpa siraman air dan matahari. Namun entah bagaimana menjelaskannya, aku lebih bahagia melihatnya seperti itu. Sudah saatnya.
Bertepatan saat postingan ini dibuat, lagu dari Vitamin C – Graduation (Friends Forever) sedang mengalun dari play list ku. Membawaku pada dua tahun silam, saat dimana tiga orang sahabat sedang berkumpul dengan Time Capsule berisi impian 7 tahun mendatang di tangan mereka.
Siang ini aku membaca postingan di wall facebookku dari sahabatku Collin. Dia menuliskan kurang lebih seperti ini :
Pen, mungkin kalo ntar gue balik, gue ga akan balik ke Semarang lagi.
Sampai detik ini aku belum tahu maksud postingan itu. Keluarganya akan pindahkah? Dia akan pergi jauhkah?
Aku teringat Bambi.
Saat aku mendapatkannya.
Saat aku melihatnya tumbuh.
Saat aku merelakannya pergi.
Masa hidup Bambi merupakan sebuah siklus. Ada tahapan ketika ia tumbuh, perubahan warna salah satunya. Sama seperti persahabatan yang memiliki tahapannya dalam warna. Tak selalu muda, kadang juga berwarna tua.
Aku tahu akan tiba saat dimana Bambi kering dan mati. Sama tahunya bahwa akan tiba saatnya dimana sahabat-sahabat itu tidak akan selalu tinggal. Ia mengisi kekosongan yang ada untuk kemudian meninggalkan kekosongan yang berbeda. Dan kelak akan hadir seseorang untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkannya.
Segala hal di dunia ini tidak ada yang abadi, seperti perjumpaan.
Sama halnya dengan perjumpaan, begitu pula dengan perpisahan.
Lagi-lagi sebuah siklus.
Terimakasih untuk Bambi kecilku yang darinya aku telah belajar merelakan sebuah kepergian dengan garis lengkung di wajahku. Memahami lebih dalam dari arti meninggalkan dan ditinggalkan tanpa embel-embel atribut bernama rasa sakit. Bambi boleh kering, boleh mati, namun aku tahu dia abadi. Begitu pula dengan mereka, meski jauh, meski terpisah, meski tak dapat tinggal, mereka akan tetap ada di sana.
Aku sayang kalian.
Buat Bambi, terimakasih untuk selalu mengisi ruang kosong di sudut meja komputerku.
Buat Collin dan Najin, semoga 5 tahun dari sekarang kita bisa membuka Time Capsule itu bersama-sama.
“As we go on we remember all the times we had together. And as our lives change, come whatever we will still be friends forever…”
Thursday, May 07, 2009