Showing posts with label Storiette. Show all posts
Showing posts with label Storiette. Show all posts

Saturday, July 20, 2013

#JuliNgeblog #Day20: Frappucino Darling



Ini cerita tentang biji kopi dalam secangkir persahabatan
***

You love coffee, don’t you?”

“Hemmm.” Hemmm-nya terdengar in denial. Sama seperti jawaban-jawaban sebelumnya.

Mungkin kali ini dia sudah malas berdiplomatis, atau mungkin dia tidak benar-benar mencintai kopi.
***

Halte busway pada malam Sabtu tak pernah se-crowded ini.  Aku sampai kewalahan untuk mengambil hp di dalam tas yang sedari tadi nyolot minta diangkat.

Adriana Soebagio calling…

“Yes, cyin?” sapaku sambil sedikit ngos-ngosan. Beginilah nasib wanita urban yang harus struggle di atas hak sepatu 7 cm nya.

“Lo dimana, beb? I need your favor.”

“Harmoni. Nunggu busway. Gimana?”

“Ntar gue ke rumah. Temenin gue arisan di Union, okay?”

“Ha? Gue mana cocok masuk inner circle lo itu?! Ajakin si…”

“Lo siap jam 8. Dandan cantik. Muah!”

KLIK. Telepon ditutup.
***

Kadang pusing sendiri melihat polah Adriana. Tiap bulan harus dikejar target ratusan juta rupiah lah, ngemis dari nasabah A sampai nasabah Z, belum lagi arisan dengan socialite ibukota. Tapi aku tahu betul sahabatku. Dibalik Herve Leger itu masih ada Adriana ber-sneakers dan jeans belel yang dulu kukenal.  Hanya saja kini ia sedang menunjukkan sisi yang satunya.

“Aaakkkkk gue butuh kopi!!! Kita ngopi bentar ya, beb?”

Baru mencicipi main course seiprit, Adriana sudah kode ngajakin balik. Jadilah kami pulang dari Union dengan perut keroncongan dan terdampar di salah satu coffee shop di daerah Selatan.

“Gue sebenernya agak nggak nyaman sama geng arisan tadi. Tapi ya gimana lagi, tuntutan profesi,” ucapnya sambil sesekali menyendokkan ice cream dari atas kopi ke dalam mulut. Lumrahnya arisan heboh merupakan a little escape bagi wanita karier super sibuk seperti Adriana. Ini justru sebaliknya. Ia jauh dari sosok the arisan darling.

“Lo nggak pesen makan?” tanyaku dengan mulut penuh.

Nope. Kenyang. Gue cukup kopi aja.” Saat di Union tadi Adriana terlalu sibuk berhaha-hihi sampai makanannya tak tersentuh.  Sekarang pun dia hanya pesan… frappucino? Oh come on, young lady!

"Hhhhhh..." Adrianna menghela nafas. Dramatis. “Gue capek sama kerjaan. Bla bla bla…”

Here we go! Adriana seorang story teller yang handal. Kalau dia sudah curhat perkara kerjaan, yang denger bisa ikutan capek luar dalam.

“Yauda resign. Buat apa kerja tapi nggak happy? Cuma karena prestige? Lo itu lebih cocok jadi copy writer daripada banker. Have a faith on your passion, my dear!”

Ia langsung diam. Sepertinya ucapanku barusan merupakan sebuah tamparan keras. Ah seharusnya sudah kulakukan dari dulu.

“Gue happy kok jadi banker."

"You are pretending to be happy."

"Nggak semua orang bisa masuk treasury, beb. Gue hari ini cuma… ummm… capek aja.”

“Iya nggak semua orang bisa masuk treasury, karena nggak semua orang punya nama belakang Soebagio!”

Tamparan kedua.

Adriana mengaduk-aduk kopi di hadapannya. Kesal. Setelah ice cream di atas kopinya habis, ia meneguk sesekali kemudian menyingkirkannya ke ujung meja.

 “You love coffee, don’t you?”

“Hemmm.” Hemmm-nya terdengar in denial. Sama seperti jawaban-jawaban sebelumnya.

Hahaha You are so frappucino kind of girl, you claim to love coffee, but you don't. You just like an ice cream.”

Tamparan ketiga. Sorot mata itu tampak lelah. Mungkin kali ini ia sudah malas berdiplomatis. Atau mungkin ia memang tidak benar-benar mencintai kopi.




PICTURE: HERE


Wednesday, July 17, 2013

#JuliNgeblog #Day17: Latte


Ini bukan cerita cinta. Ini cerita tentang biji kopi dalam secangkir cinta.
***
Jogja, 2007

Rain Stick? Nama yang cukup hipster-melo-dramatis  untuk sebuah coffee shop. Tidak terlalu besar, namun homey. Letaknya yang bersebelahan dengan kampus ISI membuat pengunjung dapat menikmati live music secara cuma-cuma. Ku Yakin CInta - D’cinnamon dan dentuman jimbe terdengar samar dari seberang sana. Membuatku larut pada sesuatu yang entah apa.

“Cobain punyaku, ndut.” dIa menyodorkan minumannya sementara aku masih terlihat bingung menjelajahi buku menu.

“Ini apa, mas?”

Latte. Feel free to slurp.”

Dan sejak saat itu aku mencintai kopi.
***

People say good coffee is like friendship… rich, warm, and strong. What if ours is not friendship anymore? Is it does matter?
***

Bandung, 2013

Enam tahun berlalu sejak kopi pertamaku. Aku yang waktu itu masih semester satu terlalu lemah melewati cobaan family zone. Dia membuatku jatuh cinta pada kopi atau mungkin sebaliknya. Kami terjebak kakak-adik-isme dalam jangka waktu yang cukup lama. Hingga salah satu diantara kami, aku, mengubah status quo itu menjadi one side love.

Things turned out not like the way I want it would be. Akhirnya kami mempunyai pasangan masing-masing. Perlahan saling melupakan dan mengakhiri hubungan yang bahkan tidak pernah dimulai.

Namun hari ini tampaknya semesta berkonspirasi mengulik kembali unfinished business beberapa tahun lalu. Kami bertemu.  

“Kamu di Bandung nginep dimana, ndut? Nanti malem ngopi, mau? Kujemput.”  “Errrrr berdua aja ya tapi,” tambahnya buru-buru bahkan sebelum aku mengiyakan.
***

“Kamu masih jalan sama yang dulu?” Dia membuka percakapan.

“Enggak, udah lama putus,” jawabku datar.

“Terus sekarang sama siapa?”

“Nggak lagi sama siapa-siapa. Jadi hidden agenda ngajakin aku ngopi cuma buat interogasi perkara love life ku?” Aku manyun. Merasa dikonfrontasi.

“Hahaha… Ambekan…”

Aku masih manyun.

“Kebaca ya? Yes, I’m checking.” Dia tersenyum. Namun tidak ada nada bercanda seperti sebelumnya.

Matik!

Vanilla latte?” Suara si barista memecah kecanggungan diantara kami.

Please.” Setelah meletakkan latte didepannya dan hot Americano untukku, si barista segera berlalu. Meninggalkan kami dalam bisu.

Seolah tau aku merasa tidak nyaman, ia pindah untuk mengambil tempat di sebelahku. Tangannya kemudian menggenggam jari-jariku yang mulai dingin bukan karena udara Bandung. “Dingin?”

Ah retoris. Namun aku hanya mengangguk-angguk tolol.

“Kamu masih suka latte, mas?” Dari sekian banyak tanda tanya, justru pertanyaan inrelevan itu yang keluar.

“Yup!”

Genggamannya semakin erat. Intens. Membuat banyak hal tampak kabur. “You have something in common with your coffee,” aku mulai berkicau.

Am I? HahahaTry me!”

A latte person. You don’t want to take a risk so that you stay on your comfort zone. Sometimes a good thing comes from  unexpectedness, but you are too afraid to confront it.

Setelah itu hening. Kami resmi terjebak nostalgia.




 PICTURE: HERE

Wednesday, July 10, 2013

#JuliNgeblog #Day10: Urbano Princesa


Ini bukan cerita cinta. Ini cerita tentang biji kopi dalam secangkir cinta.
***

“Emang masalah buat dia kalau hampir tiap pagi gue minum kopi  empat puluh ribuan?!” nafasnya naik turun. Kesal.

Woa woaEasy girlThe point is you were late yet had coffee on your hand. Yauda sih cuekin aja.” Sarah, teman kantor yang juga sahabatnya berusaha cooling down.

“Iya  tadi gue telat, tapi negurnya nggak gitu lah. Even Miranda Priestly did better.”
***

Monday always comes every week.  Seninnya tak pernah sesuram ini. Tidak sebelum boss hasil hijack-an dari ‘perusahaan tetangga’ menjadi anggota baru di tempatnya bekerja.

Ia melirik jam di pergelangan tangannya, Pk. 07.20. Masih ada waktu untuk me time. Stiletto 9 cm tak pernah menyurutkan niatnya mampir ke kedai kopi berlogo putri duyung di gedung sebelah. Frekuensinya ngopi di Sbucks sering membuat ia dicap hedon oleh beberapa teman kantornya. But like she cares. People judge people. Ia dan kopi punya history. Nggak semua orang bisa paham itu.

“Buat dateng meeting lo selalu telat, tapi buat secangkir produk kapitalis―kopi empat puluh ribuan tiap pagi lo bisa on time. What an Urbano Princesa!”

Urbano Princesa, huh? Teguran sarkatis itu masih ia ingat dengan jelas. Seakan baru kemarin sore. Bagaimanapun seorang pemimpin itu harusnya ngayomi, respect sama bawahan. Bukan malah…

Sosok tiga orang lelaki di meja paling ujung kontan membuyarkan lamunannya. Bukan, bukan karena mereka kumpulan eksmud kece dalam balutan Rolex atau Tag Heuer dengan kemeja lengan panjang digulung. But because one of them―that cool bastard  has hurt her ego.

What on earth...” Dari kejauhan ia memekik halus ke arah si boss.

Nyaris berlari ia menuju ke arah sang barista. Tak mengacuhkan tatapan risih beberapa pengunjung atas suara teplak teplok dari heels yang ia kenakan. Setelah memesan iced café mocha tanpa lupa meminta size nya di-upgrade, ia mengambil meja di ujung berlawanan. Ingin menikmati kopi tanpa distraksi.

You hate the taste of coffee but you need the pick-me-up, so you improvise.”

Oh please, not this morning. “Pardon?” Ia mendongkak ke arah datangnya suara. Ah bagaimana ia tidak hafal suara menyebalkan yang sudah hampir dua bulan ini selalu mencecar project nya?!

Lelaki itu tersenyum, namun tampak seperti seringai. Dualitas yang sempurna antara tampan dan menyebalkan. “Those mocha a type of person. What your coffee says about you.” Dagunya menunjuk ke arah kopi di meja yang sudah setengah kosong. “Read somewhere.” Si lelaki menambahkan.

Damn! Ia merasa ditelanjangi melalui kopi paginya. What could be more ironic than this circumstance?

Haha. Gotcha! Dalam hati lelaki itu merasa di atas angin. Sedikit menikmati ekspresi wanita yang menurutnya sangat impulsive namun kini hanya bisa bergeming.

See you at office, Urbano Princesa.” Ia sudah hendak pergi, namun si lawan bicara tiba-tiba menyahut.

“Ruby. Just in case lo lupa, nama gue Ruby, boss.” Ruby sengaja memberi penekanan ketika memanggil lelaki di hadapannya dengan sebutan ‘boss’.


Hanya butuh sentilan kecil, kilatan di mata Ruby langsung kembali. Meledak-ledak dan agresif. Deep down inside, Raka menikmati hal itu. Ia pun terkekeh.




PICTURE: HERE

Saturday, June 15, 2013

Greeting from Caffeine Kisser



Why do I love coffee? Because my whole love story just started from a small cup of them. Sounds odd, huh? But I mean it, literally. They bring such a magical spell into my life. Me, coffee, and the story in between. Good morning coffee enthusiast! Better latte than never!


Xoxo
Caffeine Kisser



PICTURE: HERE

Thursday, April 18, 2013

17.55


           Genap sebulan ia menjadi pelanggan kedai “POJOK” Bu Wiryo. Entah apa yang membawanya datang kemari hampir setiap sore. Yang Abi tahu wanita itu selalu mengambil tempat yang sama di kedai ibunya, memesan minuman yang sama, dan pulang ketika senja menutup mata. Sore ini, seperti sore-sore sebelumnya, ia tengah membenamkan diri pada buku kecil bersampul coklat yang tak pernah lupa ia bawa. Pena di genggamannya menari lincah pada lembar-lembar terakhir di buku itu.

            “Ini kopinya, mbak. Coffeemix, airnya dikit, nggak pakai gula,” kata Abi sembari memindahkan gelas dari nampan ke atas meja. Kedai milik ibu Abi memang hanyalah kedai kecil yang menjajakan makanan dan minuman ala kadarnya. Tidak seperti kedai kopi di tengah stasiun yang memajang latte dengan berbagai pilihan syrup di buku menu mereka. Namun ketika ditanya, wanita yang juga kerap membantu Abi belajar itu menjawab lebih suka ke kedai POJOK karena suasananya lebih tenang.

            “Wah sudah hafal pesanan saya nih. Lho tapi Abi kok masih bantu-bantu? Kata ibu minggu ini ada ulangan umum? Nggak belajar?”

          “Belajar dong mbak. Sudah bawa buku paket sama buku catatan kok. Aku kan anak gaul stasiun, kayak embak,” tukas bocah yang baru duduk di bangku kelas 4 SD tersebut.

         “Hahaha! Emang saya kayak anak gaul stasiun ya, Bi? Hahaha…” Tak urung tawa itu pecah. “Makasih ya, kopinya.”

            “Mbak suka banget kopi ya? Kok nggak pernah nyoba kopi sachet yang lain tho mbak?

           Ia meraih kopi di hadapannya, kemudian mengulum senyum setelah tegukan yang kedua. “Saya kalau sudah jatuh cinta sulit berpaling ke yang lain, Bi. Walau cuma kopi sachet tapi mekanismenya sama,” tuturnya kemudian. Menyiratkan makna bahwa relasi antara ia dan kopi lebih dari dependensi.

            Abi manggut-manggut, meski yang ia tahu perihal cinta baru sebatas lirik lagu Coboy Junior dari DVD bajakan miliknya. Namun tiba-tiba pertanyaan yang selama ini Abi simpan kembali mengusik keingintahuannya. Akhirnya Abi memberanikan diri.

            “Berarti mbak jatuh cinta sama stasiun ini juga ya? Makanya hampir tiap sore datang ke sini? Stasiun kan ada banyak, mbak. Belum lagi kalau masuk peron sekarang harus beli tiket juga. ” Untuk ukuran anak seusianya Abi memang tergolong kritis.

            Ada suara berderit yang nyaris tak terdengar saat wanita itu memajukan kursi. Ia mengubah posisi duduk yang tadinya bersandar menjadi sedikit condong ke depan. Menciptakan jeda yang lebih ditujukan untuk diri sendiri.

            “Ummm saya dan stasiun ini punya cerita, Bi. Jadi dulu jam-jam segini saya sering naik kereta dari sini. Dulu sekali saya juga sering jemput teman dan malemnya saya anterin lagi ke stasiun ini.” Abi bisa meresakan gestur wanita di hadapannya berubah saat melavalkan kata teman. Fragile. Meski masih bau kencur Abi cukup cerdas menerjemahkan sebutan teman sebagai mantan pacar. “Jadi iya, saya mungkin jatuh cinta dengan cerita di stasiun ini.”

* * *

          Untuk kali yang ketiga Abi melirik ke arah jam bundar, satu-satunya ornamen yang menggantung di dinding ruangan itu. Setengah enam lewat. Sebentar lagi wanita yang sudah ia anggap seperti kakak sendiri itu akan pulang. Abi ragu, apakah ia harus meminta maaf atas pertanyaannya yang lancang tadi. Dari balik etalase dengan beberapa bagian kaca yang sudah retak, Abi menonton siluet yang sama, wanita itu menatap udara kosong.

            Pk 17.55, sebuah kereta bercat kuning melintas di jalur empat. Ada detil yang selama ini luput dari pandangan Abi. Tatapan wanita itu berubah. Luruh. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan sesuatu di ujung mata agar tidak tumpah ke luar. Sepuluh menit kemudian kereta kuning itu berlalu, menyisakan dengung dari kejauhan yang sore ini terdengar sangat pilu di telinga Abi.

            Wanita itu menutup bukunya, lalu berdiri untuk memberikan beberapa lembar uang ribuan ke ibu Abi.

            “Maturnuwun, Bu. Saya pamit dulu,” ucapnya sembari tersenyum.

            “Sami-sami, mbak. Besok dateng lagi tho?” tanya Bu Wiryo.

          “Iya Bu, kalau nggak hujan. Soalnya sekarang sore suka hujan. Abi, mbak pulang ya, belajar yang rajin biar nilai ulangannya bagus.”

            Tidak secrigis biasanya, kali ini Abi hanya mengiyakan pelan.

Kini Abi tahu, wanita itu pulang bukan setelah senja menutup mata, namun setelah kereta Pk 17.55. Dan Abi tahu ke kota mana hati wanita itu ikut pergi.

            Segera, Abi beranjak dari tempat duduknya, mengejar sosok yang baru beberapa detik berlalu dari kedai ibu. “Hati-hati, Mbak Randu!” Setengah berteriak bocah itu mengucapkan salam.

           Randu membalikkan badan, membalasnya dengan lambaian tangan dan senyum mengembang.


DISCLAIMER: Cerita di atas hanya fiktif belaka, saya persembahkan bagi jiwa-jiwa yang menolak untuk move on. Jika terdapat kesamaan nama, karakter, maupun cerita maka... ah sudahlah.

PICTURE: http://www.123rf.com

Friday, April 27, 2012

Parampa

People say you are tricky and too hard to understand. In my glasses you seems like Parampa. It looks complicated, yet actually simple and so obvious. You were labelling your self as a big jerk. I knew it's your last shield to hide the existence of your weakness. You just too embarrased to admit it. I hate when I started to realize that you are not as a jerk as it is. And this time, let me announce my self as an asteroid which decided to fall to the earth, to you. I literally bet too much. Like seeing a dress on a mannequin then immediately bought without inspecting first. I just felt we were destined. It (you) has stolen my sense, and I had no capability to avoid it. Is it as simple as the way I fell? To be honest, yes it was.

Tuesday, March 27, 2012

Cerita di Coffee Lighter

Mas Dinar


"Mas, saya pesan strawberry bomb ice."


Dia masih ingat minuman pertama yang dia pesan kepada seorang barista kribo saat memasuki kedai kopi dengan plang "Coffee Lighter" empat tahun lalu. Plang anyar itu tampak begitu menyilaukan. Bau cat nya masih baru. Strawberry bomb yang dia minum meledak-ledak di perutnya, bersinergi dengan hati dan otak. Orang pertama yang membawanya ke tempat ini adalah lelaki yang dia sebut kakak-ketemu-gede, kakak-kemarin-sore. Dia yang saat itu masih semester 2 tidak menyadari tengah terjebak dalam family zone, kakak-adikisme, cinta bertepuk sebelah tangan yang tertunda .

Dia berbagi banyak cerita dengan si kedai kopi. Dulu hampir setiap malam dia berhaha-hihi di sini dengan teman-temannya, mengenal seseorang yang kini ia labeli "masa lalu". Semuanya seakan baru terjadi kemarin.

Dia menegak rum pertamanya dalam racikan Jamaican Coffee. Hangat. Salah satu favoritnya. Refleksi dari ambience yang dia rasakan saat itu. 

Di kursi yang kini kakinya sudah pincang dulu dia dan si masa lalu duduk berdekatan, dengan tangan saling menggenggam pada kali yang pertama. Meja kayu yang kini payungnya sudah hilang, dulu begitu gaduh menciptakan bunyi BRAK BRUK! saat dia bersama teman-temannya bertarung sengit dalam  permainan kartu yang mereka sebut "gebrakan".

Empat tahun dan banyak hal berubah. Dulu mereka menghabiskan malam meributkan gossip tentang si ini yang ternyata naksir sama si itu, sekarang teman-temannya sudah berbicara tentang investasi.

Empat tahun dan banyak hal berubah. Dulu dia dan lelaki itu memulai kisah mereka di disini hingga akhirnya berpisah satu sama lain tanpa pernah berpamitan pada si kedai kopi.

Empat tahun dan banyak hal berubah. 
Plang "Coffee Lighter" yang dulu menyala begitu terang, kini tampak redup dan usang. 
Sweet seventeen yang dulu terasa manis, kini cuer dan "seadanya" tanpa garnish di gelas bibir. 
Black dog yang dulu bisa bikin melek semalam suntuk, kini hanya mengganjal mata tak lebih dari satu jam. 
Mas Dinar, si barista kribo pemilik kedai kopi, kini rambutnya sudah berubah lurus, korban rebonding. 
Baby Afro, anaknya Mas Dinar yang dulu masih digendong sana-sini, sekarang sudah mau masuk TK dan bisa diajakin kiss bye.

* * *

26 Maret 2011

"Mas, ada UNO nggak?" tanya dia pada si barista
"Kan kalian dulu biasanya bawa UNO sendiri. Hehe..." si barista nyengir kuda pertanda sejak empat tahun lalu nggak juga beli kartu UNO.

Empat tahun dan dia tahu banyak hal  berubah, kecuali satu: Coffee Lighter (masih) nggak punya kartu UNO.

* * *

Oktober 2008

"Hun, ayo pulang!" dia merajuk, setengah memaksa.
"Kosan kamu uda ditutup ya? Bentar, Hun aku bayar dulu," jawab lelaki itu.
"Lhoh baru jam 12 kok tumben udah mau pulang?" Tanya Mas Dinar.
"Iya tuh, Mas. Payah mereka!" Teman-temannya bersorak dalam nada huuuu yang sama.
"Hehe, bini nih mas. Kosnya nggak bisa sampe malem. Lagi nggak ada tempat transit," kata lelaki itu lagi, apa adanya.

Thursday, September 8, 2011

Ensiklopedi

PARAGON CITY MALL, AGUSTUS 2011

             10 AM kami janjian bertemu, dengan cadas dua jam kemudian saya baru sampai di tempat. Si Ensiklopedi duduk manis dalam teater XXI. Mengalahkan cendol-cendol yang berbaris dengan cantik seperti ular. Tiket nonton sudah di tangan.

Me: “Lagi baca buku apa?”
Him: ”Filsafat. Lucu deh, Pen bukunya. Baru kali ini saya baca buku filsafat sambil ketawa-tawa. Hahaha…”
Me: ”Ohhh… ”
Him: ”Kamu harus baca buku ini! Hahaha…”
Me: ”Btw mau denger excuse ku? ”
         Saya nyengir.
Him: ”NOPE!!! ”
Me: ”Hahaha…

             Teman saya si Ensiklopedi kembali nyerocos tentang buku filsafatnya. Persis mbak-mbak yang terkena Korean fever ngomongin betapa unyu-nya Suju (Super Junior). Bedanya ini buku filsafat! Filsafat! People say: more reading then you will know more. I say: listen to him then you will know more, indeed!

Him: ”Setelah ini kita mau ke mana? ”
Me: ”I have no idea. Do you? ”
Him: ”Karokean? Ah tapi cuma berdua nggak seru. Kita kan nggak lagi dating. If I ask you, you absolutely reject me, ‘aight? ”
Me: ”Hahaha…

             Dia banyak membaca dan banyak bercerita. Si Ensiklopedi memaparkan berbagai hal dalam kacamata yang berbeda―sesuatu banget kata Syahrini―yang membuat saya berdecak “Oh!” sebanyak lima kali dalam lima menit.
             Kami terlibat percakapan alot tentang mengapa Harry Potter menjadi tokoh paling terkenal di Amerika, yang pada akhirnya tidak menemukan titik terang karena dia menjelaskan konklusi dalam American slang yang tidak saya mengerti. Oh! Dan tidak jarang saya merasa terjebak dalam ocehan bursa saham dimana saya benar-benar nol besar. Oh!
             Kami menganut keyakinan yang berbeda, namun Ensiklopedi berhasil membuat saya menemukan Tuhan dalam setiap percakapan kami.

Me: “Kamu kenapa dulu pindah agama? I just curious for a big time.”
Him: “Saya sudah mempelajari ke-lima agama di Indonesia loh. Semua agama pada dasarnya mengajarkan kebaikan universal. Saya memilih yang paling baik menurut pandangan saya, diantara yang terbaik. Itu jawaban logisnya. “
Me: “Eh? Ada jawaban lain? “
Him: “Melalui kaca mata iman saya akan menjawab begini: Dulu saya berpikir sayalah yang mencari Tuhan. Namun pada akhirnya saya menyadari bahwa Tuhan yang terlebih dulu mencari saya, memproses pribadi saya, menggiring saya untuk menemukan Dia. Dan proses mencari Dia itu saya lalui dari SD hingga SMA. “

             Dalam beberapa jam saja saya membaca melalui telinga tentang bursa saham, American slang, film, penyakit, legal, dan Tuhan.

Me: “Menurutmu bagaimana dengan biarawan dan biarawati yang hidup selibat? Kan manusia pada kodratnya diciptakan berpasangan? Lelaki dan perempuan? “
Him: “Karena orang yang hidup selibat itu mencerminkan kehidupan surgawi. “
Me: “Aku nggak ngerti…“
Him: “Apa yang kamu pikirkan waktu melihat pastor, romo, bruder, frater, suster? “
Me: “Mereka memiliki jiwa spiritual yang tinggi. Dekat dengan Tuhan. “
Him: “You got it! Dekat dengan Tuhan merupakan gambaran kehidupan surgawi. Di surga menurut iman percaya kamu dan saya, tidak ada hubungan suami istri. Kita hanya memuji dan menyembah Tuhan. Sukacita surga. Kehidupan surgawi seperti itulah yang berusaha mereka gambarkan di dunia fana ini. Pelayanan adalah panggilan hidup mereka. Yesus datang ke dunia untuk melayani orang-orang berdosa seperti saya dan kamu. Para biarawan dan biarawati juga sama. Melayani umat manusia. Supaya mereka dapat mencitrakan surga di tengah dunia yang amburadul ini. Menurutmu itu semua untuk siapa? “
Me: hening

             In our friendship we share everything: laugh, pain, stories, even a little musings about sex.

Me: “Kalau seks sesama jenis? Bukankah nggak adil bagi mereka yang dari sananya terlahir ‘seperti itu’?“
Him: “Entahlah. Sampai sekerang hal ini masih menjadi perguncingan. Tapi Allah kita kan tidak otoriter. Dia memberikan pilihan di tangan kita. We choose our own way. Tinggal pilihan seperti apa yang kita ambil, untuk itulah kita diberi akal dan iman. “
Me: “Hemmm“
Him: “Tapi menurut buku filosofi anatomi tubuh yang saya baca…“
Me: “Pardon me? Buku Filosofi Anatomi Tubuh? Ada buku seperti itu? DAN KAMU MEMBACANYA? “
Him: “I did. Hahaha…“
Me: “Kamu sa-kit ji-wa!!! “
Him: “Hahaha… Jadi Pen, dalam buku itu ditulis bahwa kodrat laki-laki adalah memberi dan kodrat perempuan itu menerima. Sama seperti penis dan vagina. Kalau laki ketemu laki, tongkat ketemu tongkat, berarti mereka kan sama-sama memberi. Itu salah. Seharusnya ya pria memberi, wanita menerima. Hukum alam. Harga mati.“
Me: “Oh! “
Him: “Ingat saat manusia pertama jatuh dalam dosa? “
Me: “Adam dan Hawa? “
Him: “Ya. Itu karena mereka menyalahi kodrat. Hawa ‘memberi’ buah pengetahuan yang baik dan yang buruk kepada Adam. Adam justru ‘menerima’. Si wanita ‘memberi’…“
Me: “…Si lelaki ‘menerima’. Oh! Lalu menurut mu free sex itu gimana? Kok rasanya ajaran agama bisa dikompromikan dengan budaya ya? Maksudku, di barat free sex dianggap sah-sah aja. Bahkan para teenagers menganggap diri mereka cool kalau udah having sex diusia 15 tahun. Mentang-mentang kita budaya timur, hal itu dianggap tabu. Bukankah ini kompromi geografis?“
Him: “Penonk, sebenarnya ajaran agama itu berlaku universal. No matter where. Dan orang-orang barat yang seperti itu adalah mereka yang telah meninggalkan gereja.“
Me: “Woooooooh! Hey, Ensiklopedi… Thankyou!“
Him: “What are you thanks for?“
Me:  For makes our whole conversation as a moment. “







Thursday, October 14, 2010

Lasagna, Lamp, Ly













Saya mendapati diri kacau ketika meminta bantuan kamu saat itu. Sinkronitas antara logika dan perasaan yang selama ini saya bangun telah begitu rapuh. Dari awal memang siap untuk digulingkan. Ada semacam keos dan saya menikmati itu tanpa mempedulikan perasaan kamu.

"Cari kado buat dia? Woo memang kapan ulang tahunnya? Lusa aku bisa. Kau jemput aku ya, Cez."
Kamu ceria seperti biasanya. Dan saya tidak habis pikir pernah menjadi penyebab hilangnya rona itu dari wajah kamu. Kini justru kamu yang mati-matian memplokamirkan kita sebagai sahabat.


***

"Jadi mau dibelikan apa?"

"Lampu"

...

"Lampu" kamu mengulang kata "lampu" seakan ada lelucon di sana yang luput dari mata saya.

"Kau pasti suka melihatnya. Aku tahu toko souvenir yang menjual lampu tidur, dan di sana lucu-lucu, Cez." Setelah itu sepanjang perjalanan kamu mengoceh panjang lebar tentang varian si lampu tidur. Dari bentuk, harga, warna, jenis, sampai-sampai saya curiga bahwa kamu adalah makelar lampu. Kamu menikmati itu.


***

"Itu tuh, Cez yang itu" kamu menunjuk pada satu lampu aneh di rak paling atas yang belakangan kamu sebut 'lampu lava'. Sekarang saya yakin setidaknya kamu adalah anak juragan lampu.

"Pilihan kamu bagus. Kalau begitu saya pilih yang ungu?"

"Jangan!" lontarmu tiba-tiba. Dan lagi-lagi ada yang luput dari mata saya. "Yang ungu lampuku. Jangan yang itu ya, Cez. Yang hijau saja. Atau yg biru. Please?" Orang yang mendengarkan kita pasti mengira saya hendak merebut sesuatu berharga dari tangan kamu. Kamu dewasa dan childish dalam sepersekian detik yang sama. Ini yang membuat saya betah berlama-lama dengan kamu.

Akhirnya saya mengalah, setelah bersaing sengit memperebutkan lampu lava ungu yang bahkan belum tentu kamu beli. Ah wanita!


***

Lucu sekali melihat ekspresi kelaparan pada wajah kamu. Dengan cepat kamu memutuskan memilih masakan Itali yang konon kamu sudah ngidam berminggu-minggu lamanya. Lima belas menit menunggu dan kamu begitu sumringah mendapati santapanmu pada akhirnya hadir di meja kita. Kamu diam sejenak, menutup mata, melavalkan syukur dalam hatimu.

"Makaaaaan!!!" Dengan sigap kamu membubuhi makananmu itu dengan saos tomat yang kamu bentuk meliuk-liuk. Lalu kamu terdiam lagi. "Cez?"

Eh?

"Kau mau nyobain? Ini belom aku kasih saos sambal kok. Jadi kau bisa cicip."

Kamu masih mengingat detail itu, Ly?

"Kamu makan saja, saya masih kenyang." Ada perasaan bersalah ketika pada akhirnya saya mengakui bahwa saya senang kamu masih mengingat hal-hal itu.

Kamu meneruskan parodi makanmu. Meliuk-liukkan kembali saos yang kini warnanya lebih muda. Sesuap dan kamu berhenti lagi. "Kau yakin? Yang sebelah sini belum kena saos sambal kok, Cez" kamu keukeuh menyuruh saya mencobanya.

"Makanlah," kata saya lagi dengan senyum lebar.

"Huh yaudah kalo nggak mau. Padahal lasagna di sini enak lho... Nyaaamm..."

Lasagna...


***

"Kau tidak pake jaket? Tidak bawa juga?" Kamu nampak kesal ketika malam itu saya mengantarmu pulang. "Punya badan disayang dong, Cez. Aku pinjemin jumper ya?" Kamu memaksa. Seolah kamu yang akan menyebabkan saya jadi sakit. Dan saya yakin kamu akan mengurung diri berhari-hari di dalam kamar kalau hal itu benar-benar terjadi.

"Saya tidak kedinginan kok."
Terimakasih kamu begitu memperhatikan saya, Ly.

"Cez..."

Baiklah! Kini kamu mengeluarkan jurus andalanmu. Tatapan bak anak anjing ditengah hujan itu membuat saya menyerah.


***

Wedangan Kampus, Dua hari kemudian

"Bini lo bentar lagi ultah ya, boy?"

"Tujuh hari lagi."

"Uda cari kado?"

"Sudah"

"Bini gue kemarin ultah malah belom gue kasih apa-apa."

Saya kaget dan merasa bodoh dalam waktu yang bersamaan. "Ly? Kapan?"

"Kemarin, boy. Ditanya mau minta apa, eh dari jaman dinosaurus dia cuma bilang lampu. Mana gue tau yang begituan?!"

Hahahahahaha...

Saya telah menyakiti kamu, Ly. Lagi. Dan kamu hanya diam dalam wajah ceria itu.






Tuesday, October 5, 2010

Kubik

Wajahnya biasa saja, penampilan standar, postur tubuh juga tidak sempurna. Tapi selalu ada kekhawatiran kecil akan wanita itu. Namanya Lynora.

“Dia memang sangat keterlaluan pada Ly. Biarpun dia sahabat saya, tidak seharusnya dia seperti itu pada wanita,” oceh ia.

Ly. Dalam iba yang ia lafalkan, aku bahkan bisa mendapati sebersit kekaguman di sana. Ia selalu menyelipkan Ly dalam setiap perjumpaan kami. Aku tahu rasa cinta ia utuh milikku. Tapi Ly membuatnya timpang.

“Saya heran sama Ly, masih saja mau diperlakukan seperti itu. Sekarang rasakan sendiri akibatnya.” Ia tidak marah, ada sesuatu tak terdefinisikan dalam intonasi ia yang nyaris datar.

Logika di otakku terus berteriak untuk melontarkan satu pertanyaan. “Kamu cinta sama Ly?” Akhirnya keberanian itu muncul dalam suatu sore yang kami lalui bersama.

Ia tersenyum seolah ingin berkata kamu lucu sekali!

Ia kecup keningku. “Sekarang kamu tahu siapa yang saya cintai.”

Kami menikmati hening.


***

Wanita itu seperti duri yang membuat langkah aku dan ia terus terseok. Ly, si nona tak terlihat yang entah sejak kapan membuat hubungan kami tidak sempurna. Ly seolah ingin merebut ia. Dan Ly memposisikan dirinya sebagai seorang yang lebih mengerti ia daripada aku. Ly selalu membuatku muak.

Ia bilang Ly itu wanita nekat dengan kadar rasio 0%. Ly pemberani.

Ia bilang Ly saklek pada agamanya. Ly wanita yang takut akan Tuhan.

Ia bilang Ly sangat annoying dengan ide-ide tidak masuk akal. Ly seorang yang berpikir out of the box.

Ia bilang Ly begitu childish ketika merajuk. Ly kuat, meski ia tampak lemah.

Ia bilang Ly nyentrik, wanita nyleneh. Ly memegang karakternya.

“Ly adalah sahabat saya yang bodoh” Ly adalah seorang yang sangat berarti bagimu.

Ly. Dan Ly. Lalu Ly. Selalu Ly.


***

Siang itu aku dan Ly bertemu. Seharusnya aku mendatangi Ly dan berteriak “TOLONG PERGI DARI KAMI!” Namun tatapan Ly mengunciku. Ia memohon. Bukan, ia memohon bukan untuk dirinya.

Sebenarnya siapa kamu, Ly? Mengapa begitu sulit untuk membencimu?


***

Aku seperti ABG labil ketika diam-diam menelanjangi inbox ia. Hari ini ia genap 21 tahun. Kubawakan ia kue ulang tahun dengan 21 lilin menyala. Kuberikan ia kado yang ia impikan sejak lama. Aku bahkan menyiapkan surprise party dengan teman-temannya.

Sedetik kemudian semua itu terasa bukan apa-apa saat mendapati kalimat Ly yang berbunyi, “Terimakasih kamu telah hadir di dunia ini. Aku bersyukur akan hal itu. Selamat ulang tahun, Cez.” Nama Ly terpampang dengan detail 00.01
Ketulusan itu lebih dari yang dapat aku berikan. Rasa sayang, dan mungkin cinta.

Aku menemukan “kubik”. Sebuah folder khusus yang ia ciptakan untuk menyimpan Ly-nya. Aku menemukan jawaban.

10/04/2010
“Aku tahu keadaan kita sulit, dan ternyata kau lebih memilih menyerah dengan cara yang seperti ini. Kau mengecewakanku.”

11/04/2010

“Cez, tolong lepaskan aku. Jangan begini, kau justru akan menyakiti banyak orang.”

12/04/2010

“You was choosing! I just take a decission. Cez, bukankah kau telah memilih?”

13/04/2010

“Kau bilang ia adalah pelarianmu dariku?!?! Kau jahat, Cez! Pada kami!”

14/04/2010

“Aku membencimu, Cez. Sangat. Kau menyakitiku melebihi siapapun. Tapi aku ingin belajar mengampunimu.”

15/04/2010

“Cintai dia. Dengan begitu aku akan tahu kau juga mencintaiku dengan cara yang berbeda.”


Mereka menyimpan perasaan itu. Rapat. Dalam sebuah kubik yang tertutup bagi orang luar seperti aku.


***