Saya mendapati diri kacau ketika meminta bantuan kamu saat itu. Sinkronitas antara logika dan perasaan yang selama ini saya bangun telah begitu rapuh. Dari awal memang siap untuk digulingkan. Ada semacam keos dan saya menikmati itu tanpa mempedulikan perasaan kamu.
"Cari kado buat dia? Woo memang kapan ulang tahunnya? Lusa aku bisa. Kau jemput aku ya, Cez."
Kamu ceria seperti biasanya. Dan saya tidak habis pikir pernah menjadi penyebab hilangnya rona itu dari wajah kamu. Kini justru kamu yang mati-matian memplokamirkan kita sebagai sahabat.
***
"Jadi mau dibelikan apa?"
"Lampu"
...
"Lampu" kamu mengulang kata "lampu" seakan ada lelucon di sana yang luput dari mata saya.
"Kau pasti suka melihatnya. Aku tahu toko souvenir yang menjual lampu tidur, dan di sana lucu-lucu, Cez." Setelah itu sepanjang perjalanan kamu mengoceh panjang lebar tentang varian si lampu tidur. Dari bentuk, harga, warna, jenis, sampai-sampai saya curiga bahwa kamu adalah makelar lampu. Kamu menikmati itu.
***
"Itu tuh, Cez yang itu" kamu menunjuk pada satu lampu aneh di rak paling atas yang belakangan kamu sebut 'lampu lava'. Sekarang saya yakin setidaknya kamu adalah anak juragan lampu.
"Pilihan kamu bagus. Kalau begitu saya pilih yang ungu?"
"Jangan!" lontarmu tiba-tiba. Dan lagi-lagi ada yang luput dari mata saya. "Yang ungu lampuku. Jangan yang itu ya, Cez. Yang hijau saja. Atau yg biru. Please?" Orang yang mendengarkan kita pasti mengira saya hendak merebut sesuatu berharga dari tangan kamu. Kamu dewasa dan childish dalam sepersekian detik yang sama. Ini yang membuat saya betah berlama-lama dengan kamu.
Akhirnya saya mengalah, setelah bersaing sengit memperebutkan lampu lava ungu yang bahkan belum tentu kamu beli. Ah wanita!
***
Lucu sekali melihat ekspresi kelaparan pada wajah kamu. Dengan cepat kamu memutuskan memilih masakan Itali yang konon kamu sudah ngidam berminggu-minggu lamanya. Lima belas menit menunggu dan kamu begitu sumringah mendapati santapanmu pada akhirnya hadir di meja kita. Kamu diam sejenak, menutup mata, melavalkan syukur dalam hatimu.
"Makaaaaan!!!" Dengan sigap kamu membubuhi makananmu itu dengan saos tomat yang kamu bentuk meliuk-liuk. Lalu kamu terdiam lagi. "Cez?"
Eh?
"Kau mau nyobain? Ini belom aku kasih saos sambal kok. Jadi kau bisa cicip."
Kamu masih mengingat detail itu, Ly?
"Kamu makan saja, saya masih kenyang." Ada perasaan bersalah ketika pada akhirnya saya mengakui bahwa saya senang kamu masih mengingat hal-hal itu.
Kamu meneruskan parodi makanmu. Meliuk-liukkan kembali saos yang kini warnanya lebih muda. Sesuap dan kamu berhenti lagi. "Kau yakin? Yang sebelah sini belum kena saos sambal kok, Cez" kamu keukeuh menyuruh saya mencobanya.
"Makanlah," kata saya lagi dengan senyum lebar.
"Huh yaudah kalo nggak mau. Padahal lasagna di sini enak lho... Nyaaamm..."
Lasagna...
***
"Kau tidak pake jaket? Tidak bawa juga?" Kamu nampak kesal ketika malam itu saya mengantarmu pulang. "Punya badan disayang dong, Cez. Aku pinjemin jumper ya?" Kamu memaksa. Seolah kamu yang akan menyebabkan saya jadi sakit. Dan saya yakin kamu akan mengurung diri berhari-hari di dalam kamar kalau hal itu benar-benar terjadi.
"Saya tidak kedinginan kok."
Terimakasih kamu begitu memperhatikan saya, Ly.
"Cez..."
Baiklah! Kini kamu mengeluarkan jurus andalanmu. Tatapan bak anak anjing ditengah hujan itu membuat saya menyerah.
***
Wedangan Kampus, Dua hari kemudian"Bini lo bentar lagi ultah ya, boy?"
"Tujuh hari lagi."
"Uda cari kado?"
"Sudah"
"Bini gue kemarin ultah malah belom gue kasih apa-apa."
Saya kaget dan merasa bodoh dalam waktu yang bersamaan. "Ly? Kapan?"
"Kemarin, boy. Ditanya mau minta apa, eh dari jaman dinosaurus dia cuma bilang lampu. Mana gue tau yang begituan?!"
Hahahahahaha...
Saya telah menyakiti kamu, Ly. Lagi. Dan kamu hanya diam dalam wajah ceria itu.