Minggu lalu pakdhe kesayangan saya dipanggil Tuhan. Begitu tiba-tiba, tanpa sakit terlebih dahulu, yang kalau kata orang Jawa "angin duduk". Keluarga besar kami berduka, mengalami kehilangan besar. Pagi ini kakak sepupu saya mengirim pesan singkat, minta dukungan doa untuk budhe yang sampai hari ini masih terus menangis. Saya sedih mendapati hal itu. Lalu saya ingat perkataan adek beberapa hari lalu, katanya waktu putus cinta, saya seperti orang "berduka".
Hidup itu seperti roda yang berputar. When life put us on a top, no matter how much we want time to stop moving, we can't stop the clock. Pada akhirnya kita semua harus merasakan titik terbawah dalam kehidupan, kehilangan. Saya pernah mengalami drama kehilangan seorang yang sangat saya kasihi. Ketika kami tidak lagi bersama, saya tidak hanya kehilangan dia secara fisik, saya kehilangan perhatiannya, juga waktu yang biasa kami lalui berdua. Saya tidak sanggup membayangkan betapa besar duka yang dirasakan seseorang ketika pasangan hidup mereka harus pulang mendahului yang lain.
Tentang kehilangan, saya butuh waktu tidak sebentar untuk belajar menerima. Namun justru dari kehilangan saya bersyukur, bahwa seseorang pernah ada, bahwa masih banyak orang yang peduli dan mengasihi. Iya, roda itu berputar. Sama halnya analogi bayi yang baru lahir ke dunia, menangis itu tanda bahwa kita hidup. Saya pernah merasakan di bawah dan saya tidak bisa menghindar ketika suatu saat nanti saya ditempatkan di titik itu lagi. Lalu apa yang menguatkan saya?
Just as the season of the year continue, so do the cycles of life―birth and dead, success and failure, sin and confession. Although we have no power to stop the clock while we're enjoying good times, We can rest in God's promise that eventually all bad times will end (Revelation 21:4). ― Julie Ackerman
No comments:
Post a Comment