Daftar kegiatan beruntun memenuhi kalenderku beberapa waktu lalu. Segalanya terasa saling berjejalan dalam satu lemari kecil untuk memaksa masuk dan diprioritaskan. Tidak tertata. Pada tanggal yang sama, 23 Februari 2008, ada dua kegiatan besar yang harus kuhadiri. Dan lucunya keduanya bergerak di dunia dan komunitas yang sangat bertolak belakang.
Kegiatan bertajuk *Secangkir Puisi Sebait Kopi, menempatkan aku sebagai salah satu pemain utama di sana. Aku bermain di komunitas teater kampus. Teater SOPO, tempat bermain tapi bukan untuk dipermainkan, ketika ada yang menyeletuk seperti itu, aku hanya tertawa. Namun terkadang hal ini benar adanya. Karena aku merasa menemukan sebuah keluarga baru. Tempat dimana aku bisa menjadi diri sendiri. Berada di dunia akting tanpa perlu berakting, meninggalkan big bag, cardigan dan celana pensil. Rasanya menyenangkan ketika bisa mengenakan kaos gombrong dan celana pendek seadanya, tanpa disertai tatapan memohon khas para fashionista di fakultasku.
Sabtu itu aku melakoni peran sebagai dede kecil yang hidup dalam imajinasinya. Tema SPSK memang dunia fantasi, sempat terlintas di benak liarku, alangkah menyenangkan jika bisa kubawa lakonku ke dunia nyata. Hidup di dunia dimana mimpi bukan sekedar mimpi, lepas dari segala rutinitas, lepas dari segala batas. Tapi tentu saja hal itu tak ubahnya angan tolol :]
Tahap prapentas sangat menyita tenaga dan waktu. Bagaimana tidak, kalau aku harus pulang Pk 24.00 di setiap malamnya. Dengan sungkan mengetuk pintu budhe kos agar bisa masuk ke dalam. Belum lagi mengurus masalah perijinan ke Pembantu Dekan yang dengan tetek bengeknya memintaku untuk ganti proposal. Haha… Thank God!
Pada sisi yang berbeda aku dituntut untuk eksis jika ingin dikenal, jika ingin digunakan lebih tepatnya. Ada sebuah UKM (Unit Kegiatan Mahasiwa) bernama Kine Klub yang aku ikuti. UKM tersebut bergerak di dunia perfilman. Mengapresiasi, berdiskusi, dan kadang mencipta sebuah film. Aku jadi mengerti hal-hal kecil dan nilai baru dalam dunia film yang selama ini kerap luput dari mata telanjangku.
Banyak hal yang kupelajari dalam Latsar (latihan dasar) beberapa waktu lalu. Saat dimana aku bisa merasakan susahnya menjadi PD (Program Director), FD (Floor Director), Camera person, Switcher, dan talent dalam satu waktu yang nyaris bersamaan. Ternyata mencipta sebuah karya itu tak mudah.
Februari lalu Kine Klub menyelenggarakan pemutaran film kecil bertema “Gambar Idoep Tempoe Doeloe”. Cukup membuatku pusing juga ketika harus dikejar date line proposal sponsorship, surat perijinan ini, undangan itu…
Kami memutar dua film, Nagabonar dan Pagar Kawat berduri, dimana salah satu dari film tersebut terselenggara bertepatan dengan hari pementasanku. Sebagai panitia, tidak mungkin juga kalau aku tidak datang. Hey, bukankan aku perlu eksis?
Tapi terkadang harus ada yang dikorbankan. Orang bijak bilang, menentukan skala prioritas. Haha.. andai saja ada alat Doraemon yang bisa membagi tubuhku menjadi dua, pasti tak akan sesulit ini. Lagi-lagi imaji liarku muncul.
Dan sampailah aku di sana. Tempat dimana aku lebih dibutuhkan. Aku hanya ingin berlaku adil untuk keduanya. Itu saja. Sangat sulitkah untuk dimengerti?
Setelah semuanya usai, kelegaan yang kunantikan tak kunjung datang. Ada sesuatu yang mengganjal. Seperti kehilangan banyak waktu untuk diri sendiri, dan untuk Nya...
Senin lalu (3/3) aku datang ke sebuah persukutuan rohani di kampus. Renungan dari Bu Efri saat itu telak-telak menohokku, “Mungkin sekarang kita telah memasuki kehidupan kampus yang sebenarnya. Sudah sibuk dengan rutinitas dan kegiatan ini-itu, hingga secara tidak sadar waktu yang dulu kita khususkan buat Tuhan menjadi berkurang. Kita merasa segala sesuatu berjalan tidak sesuai rencana. Merasa sendiri. Padahal Tuhan tidak pernah meninggalkan kita, kita yang meninggalkan-Nya. Bapa kita di dunia saja selalu menopang disaat kita berteriak minta tolong, terlebih Bapa kita di surga. Dia menyertai kita bukan cuma kemarin, hari ini, lusa, setahun, atau sepuluh tahun mendatang, melainkan sampai akhir zaman…”
Never Walk Alone. Sounds familiar? Or commercial? Jika menilik dari sudut pandang para soccer freak, kalimat tersebut pastilah terdengar komersil. Penggila bola mana yang tidak tahu semboyan terkenal Liverpool itu? Beda halnya jika kalimat itu diucapkan oleh orang-orang yang tengah mengalami kesesakan batin. Akan menjadi kalimat yang menguatkan, bukan lagi sekedar semboyan atau bentukan kata.
Saat angin sakal datang di hidup kita dan mengombang-ambingkan perahu yang kita naiki, terkadang kita hanya mampu berkata, “Tuhan, aku mendayung begitu payah.” Sama halnya dengan aku beberapa waktu lalu. Tapi kini aku bersyukur telah mengetahui satu hal, bahwa aku tidak akan pernah berjalan sendiri. Ada Dia yang menuntunku. Disaat perahuku goyang, Ia akan berjalan menghampiriku dan meredakan angin sakal itu.
“Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (matius 28:20)
* Secangkir Puisi Sebait Kopi (SPSK) = kegiatan tahunan Teater SOPO berupa pentas perdana yang diselenggarakan oleh anggota baru. Sekaligus sebagai ajang baca puisi bagi semua tamu dan peserta yang hadir dalam acara tersebut. Tentu saja ditemani oleh secangkir kopi…
Sunday, March 09, 2008