Desember lalu beberapa teman mengajakku pergi ke Pantai Maron. Lima belas tahun tinggal di Semarang, mendengar nama pantai inipun baru kemarin sore. Ironisnya, bukan hanya aku yang merasa asing ketika Mba Ruth (Ketua KOREM kami) menyebut Pantai Maron sebagai objek tujuan. Hal ini membuatku berpikir, lantas siapa yang patut dipersalahkan? Kami yang ngaku anak Semarang asli tapi nol besar akan potensi alam setempat? Pemda Semarang yang kurang promosi dan begitu saja mengabaikan profit yang mungkin dihasilkan? Lokasinya yang terpencil?
Bukan suatu yang hiperbol bila letak Pantai Maron dibilang jauh dari peradaban. Untuk seember kecil air bersih kami harus membayar seharga 1 liter air mineral! Bayangkan saja. Sangat kontras dengan Pantai Marina yang kaya akan pengunjung (tapi mulai berkurang akibat minimnya perawatan) karena letaknya yang berada di kawasan real estate. Dari bandara Achmad Yani—ujung dari ujungnya Semarang—kami masih harus menempuh sebuah perjalanan panjang.
Kalau dihitung secara matematis seharusnya sampai dalam waktu 45 menit. Sayang terkadang hukum matematik tidak berlaku. Butuh lebih dari 1 jam untuk mencapainya. Integritas ruang dan waktu yang tak kooperatif memang.
Kami harus melewati lautan lumpur, medan terbesar dalam perjalanan. Jangankan motor, kakiku saja sangat berat untuk dilangkahkan. For your info, aku terpaksa berjalan kaki, karena keukeuh nangkring di atas motor merupakan tindakan yang sangat egois (-.-“)
Satu persatu dari kami berjatuhan. Diawali oleh Ayu, Ester, lalu Aryo (haha.. bahkan seorang Aryo Nyamuk pun dapat jatuh!)
Adegan ini membuatku mencelos. Mungkin beginilah dinamika kehidupan. Kita tak pernah tahu bagaimana perjalanan kita ke depan. Berapa banyak yang datang, berapa banyak yang pergi, berapa banyak yang tinggal. Dan yang tak kalah penting, seberapa berat medan yang kita tempuh, yang membuat perjalanan hidup menjadi lebih panjang.
Aku sempat bilang, lebih baik cowok yang di depan—just in case saja. Sayang nasehat kecil ini hanya dianggap angin lalu. Baru ketika jatuh, mereka mengerti, kalau mereka tidak selamanya bisa bertahan seorang diri.
Kadang kita menghindari sebuah perjalanan karena medannya. Itu sebabnya kita tak pernah tahu apa yang ada di depan sana. Padahal medan lah yang membuat kita belajar banyak hal. Siapapun, tanpa terkecuali, dapat jatuh ketika menempuh sebuah medan kehidupan. Tinggal bagaimana kita bertahan. Akankah kita mengulurkan dan menerima uluran tangan dari orang lain disaat kita merasa benar-benar tak mampu?
Ada seorang pasangan yang berangkat beriringan dengan kami. Ternyata mereka juga ikut terjatuh. Kami menolong, mereka bangun, mengucapkan terimakasih, dan pergi. Kembali mencari jalan yang dirasanya paling baik.
Medan berlumpur itu membuat beberapa orang baru datang ke hidup kita. Namun mereka tidak selamanya tinggal, sekalipun kita menginginkan mereka untuk tinggal.
Hidup ini pendek—orang Jawa bilang mampir ngombe (numpang minum). Menjadi panjang ketika kita harus melewati berbagai rintangan yang ada. Bukan hanya lempeng, tapi juga berliku, berbatu, bahkan berlumpur.
Ada kepuasan tersendiri saat akhirnya sampai ke Pantai Maron. Rasanya seperti menemukan sisi lain kehidupan yang selama ini ada, namun tertutup oleh medan yang tak pernah dilalui, atau barangkali yang tak ingin dilalui karena kita lebih memilih berputar untuk menghindar? Bukan karena medan. Tapi tentang medan.
Tuesday, January 8, 2008
*Special thx buat Kebo (Ricky. Hehee… Ampun, Ky!) untuk tebengan yang telah diberikan pada cewek manis ini =p
No comments:
Post a Comment