Ini bukan cerita cinta. Ini cerita tentang biji kopi dalam secangkir cinta.
***
“Emang masalah buat dia kalau hampir tiap pagi gue minum kopi empat puluh ribuan?!” nafasnya naik turun.
Kesal.
“Woa woa…
Easy girl… The point is you were late yet had coffee on your hand. Yauda sih
cuekin aja.” Sarah, teman kantor yang juga sahabatnya berusaha cooling down.
“Iya tadi gue telat, tapi negurnya nggak gitu lah. Even Miranda Priestly did better.”
***
Monday always comes
every week. Seninnya tak pernah sesuram ini. Tidak sebelum
boss hasil hijack-an dari ‘perusahaan tetangga’ menjadi anggota baru di
tempatnya bekerja.
Ia melirik jam di pergelangan tangannya, Pk.
07.20. Masih ada waktu untuk me time.
Stiletto 9 cm tak pernah menyurutkan
niatnya mampir ke kedai kopi berlogo
putri duyung di gedung sebelah. Frekuensinya ngopi di Sbucks sering membuat ia dicap hedon
oleh beberapa teman kantornya. But like
she cares. People judge people.
Ia dan kopi punya history. Nggak
semua orang bisa paham itu.
“Buat dateng meeting lo selalu telat, tapi buat secangkir produk kapitalis―kopi
empat puluh ribuan tiap pagi lo bisa on
time. What an Urbano Princesa!”
Urbano Princesa, huh? Teguran sarkatis itu masih ia
ingat dengan jelas. Seakan baru kemarin sore. Bagaimanapun seorang pemimpin itu
harusnya ngayomi, respect sama bawahan. Bukan malah…
Sosok tiga orang lelaki di meja paling ujung kontan
membuyarkan lamunannya. Bukan, bukan karena mereka kumpulan eksmud kece dalam
balutan Rolex atau Tag Heuer dengan kemeja lengan panjang
digulung. But because one of them―that
cool bastard has hurt her ego.
“What on
earth...” Dari kejauhan ia memekik halus ke arah si boss.
Nyaris berlari ia menuju ke arah sang barista.
Tak mengacuhkan tatapan risih beberapa pengunjung atas suara teplak teplok dari heels yang ia kenakan. Setelah memesan iced café mocha tanpa lupa meminta size nya di-upgrade, ia mengambil
meja di ujung berlawanan. Ingin
menikmati kopi tanpa distraksi.
“You hate
the taste of coffee but you need the pick-me-up, so you improvise.”
Oh please, not this
morning. “Pardon?” Ia mendongkak ke arah datangnya
suara. Ah bagaimana ia tidak hafal suara menyebalkan yang sudah hampir dua
bulan ini selalu mencecar project nya?!
Lelaki itu tersenyum, namun tampak seperti
seringai. Dualitas yang sempurna antara tampan dan menyebalkan. “Those mocha a type of person. What your
coffee says about you.” Dagunya menunjuk ke arah kopi di meja yang sudah
setengah kosong. “Read somewhere.” Si
lelaki menambahkan.
Damn! Ia merasa ditelanjangi melalui
kopi paginya. What could be more ironic
than this circumstance?
Haha. Gotcha! Dalam hati lelaki itu merasa di
atas angin. Sedikit menikmati ekspresi wanita yang menurutnya sangat impulsive namun kini hanya bisa
bergeming.
“See you
at office, Urbano Princesa.” Ia sudah hendak pergi, namun si lawan bicara tiba-tiba menyahut.
“Ruby. Just
in case lo lupa, nama gue Ruby, boss.”
Ruby sengaja memberi penekanan ketika memanggil lelaki di hadapannya dengan
sebutan ‘boss’.
Hanya butuh sentilan kecil, kilatan di mata
Ruby langsung kembali. Meledak-ledak dan agresif. Deep down inside, Raka menikmati hal itu. Ia pun terkekeh.
PICTURE: HERE
No comments:
Post a Comment