Ini cerita tentang biji kopi dalam secangkir persahabatan
***
“Hemmm.” Hemmm-nya terdengar in denial.
Sama seperti jawaban-jawaban sebelumnya.
Mungkin kali ini dia sudah malas
berdiplomatis, atau mungkin dia tidak benar-benar mencintai kopi.
***
Halte busway pada malam Sabtu tak
pernah se-crowded ini. Aku sampai kewalahan untuk mengambil hp di dalam tas yang sedari tadi nyolot
minta diangkat.
Adriana Soebagio calling…
“Yes, cyin?” sapaku sambil
sedikit ngos-ngosan. Beginilah nasib
wanita urban yang harus struggle di
atas hak sepatu 7 cm nya.
“Lo dimana, beb? I need your favor.”
“Harmoni. Nunggu busway. Gimana?”
“Ntar gue ke rumah. Temenin gue
arisan di Union, okay?”
“Ha? Gue mana cocok masuk inner circle lo itu?! Ajakin si…”
“Lo siap jam 8. Dandan cantik. Muah!”
KLIK. Telepon ditutup.
***
Kadang pusing sendiri melihat polah
Adriana. Tiap bulan harus dikejar target ratusan juta rupiah lah, ngemis dari nasabah A sampai nasabah Z,
belum lagi arisan dengan socialite ibukota.
Tapi aku tahu betul sahabatku. Dibalik Herve
Leger itu masih ada Adriana ber-sneakers dan jeans belel yang dulu kukenal. Hanya saja kini ia sedang menunjukkan sisi
yang satunya.
“Aaakkkkk gue butuh kopi!!! Kita
ngopi bentar ya, beb?”
Baru mencicipi main course seiprit, Adriana sudah kode ngajakin balik. Jadilah kami pulang dari Union dengan perut keroncongan dan
terdampar di salah satu coffee shop di daerah Selatan.
“Gue sebenernya agak nggak nyaman
sama geng arisan tadi. Tapi ya gimana lagi, tuntutan profesi,” ucapnya sambil
sesekali menyendokkan ice cream dari
atas kopi ke dalam mulut. Lumrahnya arisan heboh merupakan a little escape bagi wanita karier super sibuk seperti Adriana. Ini
justru sebaliknya. Ia jauh dari sosok the
arisan darling.
“Lo nggak pesen makan?” tanyaku
dengan mulut penuh.
“Nope. Kenyang. Gue cukup kopi aja.” Saat di Union tadi Adriana
terlalu sibuk berhaha-hihi sampai makanannya tak tersentuh. Sekarang pun dia hanya pesan… frappucino? Oh come on, young lady!
"Hhhhhh..." Adrianna menghela nafas. Dramatis. “Gue capek sama kerjaan. Bla bla bla…”
Here we go! Adriana seorang story
teller yang handal. Kalau dia sudah curhat perkara kerjaan, yang denger
bisa ikutan capek luar dalam.
“Yauda resign. Buat apa kerja tapi nggak happy? Cuma karena prestige? Lo itu lebih cocok jadi copy writer daripada banker. Have a faith on your passion, my dear!”
Ia langsung diam. Sepertinya
ucapanku barusan merupakan sebuah tamparan keras. Ah seharusnya sudah kulakukan dari
dulu.
“Gue happy kok jadi banker."
"You are pretending to be happy."
"Nggak semua orang bisa masuk treasury, beb. Gue hari ini cuma… ummm… capek aja.”
"You are pretending to be happy."
"Nggak semua orang bisa masuk treasury, beb. Gue hari ini cuma… ummm… capek aja.”
“Iya nggak semua orang bisa masuk
treasury, karena nggak semua orang
punya nama belakang Soebagio!”
Tamparan kedua.
Adriana mengaduk-aduk kopi di
hadapannya. Kesal. Setelah ice cream di
atas kopinya habis, ia meneguk sesekali kemudian menyingkirkannya ke ujung
meja.
“You
love coffee, don’t you?”
“Hemmm.” Hemmm-nya terdengar in denial.
Sama seperti jawaban-jawaban sebelumnya.
“Hahaha… You are so frappucino
kind of girl, you claim to love coffee, but you don't. You just like an ice
cream.”
Tamparan ketiga. Sorot mata itu
tampak lelah. Mungkin kali ini ia sudah malas berdiplomatis. Atau mungkin ia memang tidak
benar-benar mencintai kopi.
PICTURE: HERE
No comments:
Post a Comment