Genap sebulan ia
menjadi pelanggan kedai “POJOK” Bu Wiryo. Entah apa yang membawanya datang
kemari hampir setiap sore. Yang Abi tahu wanita itu selalu mengambil tempat
yang sama di kedai ibunya, memesan minuman yang sama, dan pulang ketika senja
menutup mata. Sore ini, seperti sore-sore sebelumnya, ia tengah membenamkan
diri pada buku kecil bersampul coklat yang tak pernah lupa ia bawa. Pena di
genggamannya menari lincah pada lembar-lembar terakhir di buku itu.
“Ini kopinya, mbak. Coffeemix, airnya dikit, nggak pakai
gula,” kata Abi sembari memindahkan gelas dari nampan ke atas meja. Kedai milik
ibu Abi memang hanyalah kedai kecil yang menjajakan makanan dan minuman ala
kadarnya. Tidak seperti kedai kopi di tengah stasiun yang memajang latte dengan berbagai pilihan syrup di buku menu mereka. Namun ketika
ditanya, wanita yang juga kerap membantu Abi belajar itu menjawab lebih suka ke kedai POJOK karena suasananya lebih tenang.
“Wah sudah hafal pesanan saya nih. Lho tapi Abi kok masih
bantu-bantu? Kata ibu minggu ini ada ulangan umum? Nggak belajar?”
“Belajar dong mbak. Sudah bawa buku paket sama buku
catatan kok. Aku kan anak gaul stasiun, kayak embak,” tukas bocah yang baru duduk
di bangku kelas 4 SD tersebut.
“Hahaha! Emang saya kayak anak gaul stasiun ya, Bi?
Hahaha…” Tak urung tawa itu pecah. “Makasih ya, kopinya.”
“Mbak suka banget kopi ya? Kok nggak pernah nyoba kopi sachet yang lain tho mbak?
Ia meraih kopi di hadapannya, kemudian mengulum senyum
setelah tegukan yang kedua. “Saya kalau sudah jatuh cinta sulit berpaling ke
yang lain, Bi. Walau cuma kopi sachet tapi
mekanismenya sama,” tuturnya kemudian. Menyiratkan makna bahwa relasi antara ia dan kopi lebih dari dependensi.
Abi manggut-manggut, meski yang ia tahu perihal cinta
baru sebatas lirik lagu Coboy Junior dari DVD bajakan miliknya. Namun tiba-tiba
pertanyaan yang selama ini Abi simpan kembali mengusik keingintahuannya.
Akhirnya Abi memberanikan diri.
“Berarti mbak jatuh cinta sama stasiun ini juga ya?
Makanya hampir tiap sore datang ke sini? Stasiun kan ada banyak, mbak. Belum
lagi kalau masuk peron sekarang harus beli tiket juga. ” Untuk ukuran anak seusianya Abi memang tergolong kritis.
Ada suara berderit yang nyaris tak terdengar saat wanita
itu memajukan kursi. Ia mengubah posisi duduk yang tadinya
bersandar menjadi sedikit condong ke depan. Menciptakan jeda yang lebih ditujukan untuk diri
sendiri.
“Ummm saya dan stasiun ini punya cerita, Bi. Jadi dulu jam-jam
segini saya sering naik kereta dari sini. Dulu sekali saya juga sering jemput teman dan malemnya saya anterin lagi ke stasiun ini.”
Abi bisa meresakan gestur wanita di hadapannya berubah saat melavalkan kata teman. Fragile. Meski masih bau kencur Abi cukup cerdas menerjemahkan
sebutan teman sebagai mantan pacar. “Jadi iya, saya mungkin jatuh cinta dengan
cerita di stasiun ini.”
* * *
Untuk kali yang ketiga Abi melirik ke
arah jam bundar, satu-satunya ornamen yang menggantung di dinding ruangan itu. Setengah
enam lewat. Sebentar lagi wanita yang sudah ia anggap seperti kakak sendiri itu
akan pulang. Abi ragu, apakah ia harus meminta maaf atas pertanyaannya yang
lancang tadi. Dari balik etalase dengan beberapa bagian kaca yang sudah retak, Abi
menonton siluet yang sama, wanita itu menatap udara kosong.
Pk 17.55, sebuah kereta bercat kuning melintas di jalur
empat. Ada detil yang selama ini luput dari pandangan Abi. Tatapan wanita itu
berubah. Luruh. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan sesuatu di ujung
mata agar tidak tumpah ke luar. Sepuluh menit kemudian kereta kuning itu berlalu,
menyisakan dengung dari kejauhan yang sore ini terdengar sangat pilu di telinga
Abi.
Wanita itu menutup bukunya, lalu berdiri untuk memberikan
beberapa lembar uang ribuan ke ibu Abi.
“Maturnuwun, Bu.
Saya pamit dulu,” ucapnya sembari tersenyum.
“Sami-sami, mbak.
Besok dateng lagi tho?” tanya Bu Wiryo.
“Iya Bu, kalau nggak hujan. Soalnya sekarang sore suka
hujan. Abi, mbak pulang ya, belajar yang rajin biar nilai ulangannya bagus.”
Tidak secrigis biasanya, kali ini Abi hanya mengiyakan
pelan.
Kini Abi tahu, wanita itu pulang bukan setelah senja menutup mata, namun setelah
kereta Pk 17.55. Dan Abi tahu ke kota mana hati wanita itu ikut pergi.
Segera, Abi beranjak dari tempat duduknya, mengejar
sosok yang baru beberapa detik berlalu dari kedai ibu. “Hati-hati, Mbak
Randu!” Setengah berteriak bocah itu mengucapkan salam.
Randu membalikkan badan, membalasnya dengan lambaian tangan
dan senyum mengembang.
DISCLAIMER: Cerita di atas hanya fiktif belaka, saya persembahkan bagi jiwa-jiwa yang menolak untuk move on. Jika terdapat kesamaan nama, karakter, maupun cerita maka... ah sudahlah.
No comments:
Post a Comment